Saat itu ia harus menjual cincin kawin kesayangannya demi anak tercinta dari suami yang kini entah dimana. Pergi tak juntrung berada.
Orang-orang akan mengira Dina adalah ibu yang begitu pelah merawat dan membesarkan Mira.
Kau tau, sebenarnya Mira adalah ibu penyabar. Ia hanya mengelus dada. "Salahku dulu apa ya Allah, hingga harus punya anak begini?" Berkali-kali dada ringkih itu dielus-elusnya.
Kejadian demi kejadian memilukan terjadi. Tak kunjung berhenti. Semakin hari semakin gelap seisi ruangan. Mendung di langit tak kunjung menampakkan cerahnya.
Mira tetap saja tabah. Membunun anak semata wayangnya mustahil ia lakukan. Dalam rahim pun, walau saat itu ayah sang bayi begitu bejat memperlakukannya. Ia tetap bersabar.
Padahal kesempatan menggugurkan janinnya begitu mudah ia lakukan, hanya dengan beberapa ramuan saja. Pasti gugur, pikirnya saat kegelapan begitu pekat. Beruntunglah tidak dilakukannya.
Seberkas harapan masih terselip di sela ketiaknya di balik daster kusam robek yang ia punya. Ia tak pernah mengeluh bagaimana rasanya lapar. Tak pernah peduli tetangga menggunjingkan kemiskinannya. Demi anak tercinta apapun dilakukannya.
Lalu apa balasannya?
Mira adalah ibu dan Dina adalah anak semata wayangnya. Tak akan mungkin mereka berganti peran. Atau bahkan jika zaman sudah edan. Tetap saja, ibu adalah ibu dan anak adalah anak.
Tanyalah pada Mira, "Apakah yang kau lakukan salah?"
Lalu, tanyalah Dina dengan pertanyaan yang sama
Serentak mereka berdua akan menjawab, "Salahku apa? Aku tidak salah sama sekali. Aku sudah berbuat benar!"
Duhai para pembaca....
Jika cerita di atas sulit dipahami, silakan baca ulang kembali. Inikah yang sedang terjadi padamu? Mungkin jua terjadi pada tetanggamu, atau orang terdekatmu. Apa yang akan kamu lakukan? Mengutuk Dina? Menyalahkan Mira?
Jika kau adalah Mira, apa yang akan kau lakukan? Atau jika kau Dina, bagaimana perasaanmu? Puaskah setelah demikian mampu menggetarkan penghuni langit?