Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Semata Wayang yang Malang

16 Agustus 2022   11:19 Diperbarui: 16 Agustus 2022   11:22 190 10
Pintu kamar dibanting. Orang-orang yang mendengar pasti akan merasa bahwa sesuatu telah terjadi. Nyatanya tidak terjadi apa-apa.

Seperti biasa, anak dan ibunya. Berdebat jadi hal biasa. Saling meninggikan suara lumrah menjadi hiasan telinga. Saling mencibir adalah lukisan megah di dinding-dinding kamar.

Hampir di semua ruang, tak terkecuali teras. Bangun tidur, kamar tidur adalah pembuka adegan. Sanjutnya dapur dan kamar mandi. Otak baru saja bekerja, isinya menurutnya biasa saja. Namun bagi orang lain, sungguh sangat tercela.

Betapa tidak! Surga ada di telapak kaki ibu, surga itu kini sedang diinjak-injaknya. Mulut manis jadi amis, mata jeli jadi ngeri, bibir tipis jadi lamis. Setiap gerakan selalu menyakitkan.

Apa yang terjadi?
Airmata telah kering karenanya, mewek dan menampar muka malu rasanya. Setiap detik seperti meminum air panas baru diangkat dari tungku api. Bayangkan siksa itu? Kita pasti mengira cerita ini hanyalah hayalan belaka. Rekayasa sang penulisnya.

Sungguh! Nyatanya ini tidak sama sekali. Di luar akal dan budi. Terjadi di mana-mana. Dari pintu satu ke pintu lainnya. Dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Apa yang sedang terjadi?
Benar adanya, jika dikatakan bahwa saat seorang anak membentak ibunya maka arsy langit bergetar saking marahnya....
Entahlah. Ada yang percaya, tak sedikit yang mendustakannya.

Cerita berikut bukan tentang perilaku kasar anak pada ibunya. Cerita berikut bukan tentang larangan dan pertentangan perlakuannya. Debat-debat pembenaran atau menyalahkan. Ini murni tentang peristiwa yang terjadi setelahnya.

Sebutlah Mira (bukan nama sebenarnya), seorang ibu dengan putri tunggalnya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Dina (bukan nama sebenarnya) membentak dengan sangat garang pada ibunya.

Jika pertengkaran itu terjadi dalam rumah dan pada saat yang bersamaan ada orang lewat mendengarkan. Orang akan mengira Dina adalah ibu dari Mira. Seakan Dinalah yang melahirkan dan menyusui Mira. Dinalah yang tengah malam terbangun mendengar tangisan Mira popoknya basah minta digantikan.

Pada kesempatan lain, Dinalah yang harus mengompres deman Mira. Keringat bercucuran dari keningnya bukan karena panasnya cuaca, melainkan kekhawatiran yang sangat melihat Dina kejang terlalu tinggi demannya.

Saat itu ia harus menjual cincin kawin kesayangannya demi anak tercinta dari suami yang kini entah dimana. Pergi tak juntrung berada.

Orang-orang akan mengira Dina adalah ibu yang begitu pelah merawat dan membesarkan Mira.

Kau tau, sebenarnya Mira adalah ibu penyabar. Ia hanya mengelus dada. "Salahku dulu apa ya Allah, hingga harus punya anak begini?" Berkali-kali dada ringkih itu dielus-elusnya.

Kejadian demi kejadian memilukan terjadi. Tak kunjung berhenti. Semakin hari semakin gelap seisi ruangan. Mendung di langit tak kunjung menampakkan cerahnya.

Mira tetap saja tabah. Membunun anak semata wayangnya mustahil ia lakukan. Dalam rahim pun, walau saat itu ayah sang bayi begitu bejat memperlakukannya. Ia tetap bersabar.

Padahal kesempatan menggugurkan janinnya begitu mudah ia lakukan, hanya dengan beberapa ramuan saja. Pasti gugur, pikirnya saat kegelapan begitu pekat. Beruntunglah tidak dilakukannya.

Seberkas harapan masih terselip di sela ketiaknya di balik daster kusam robek yang ia punya. Ia tak pernah mengeluh bagaimana rasanya lapar. Tak pernah peduli tetangga menggunjingkan kemiskinannya. Demi anak tercinta apapun dilakukannya.

Lalu apa balasannya?
Mira adalah ibu dan Dina adalah anak semata wayangnya. Tak akan mungkin mereka berganti peran. Atau bahkan jika zaman sudah edan. Tetap saja, ibu adalah ibu dan anak adalah anak.

Tanyalah pada Mira, "Apakah yang kau lakukan salah?"
Lalu, tanyalah Dina dengan pertanyaan yang sama
Serentak mereka berdua akan menjawab, "Salahku apa? Aku tidak salah sama sekali. Aku sudah berbuat benar!"

Duhai para pembaca....
Jika cerita di atas sulit dipahami, silakan baca ulang kembali. Inikah yang sedang terjadi padamu? Mungkin jua terjadi pada tetanggamu, atau orang terdekatmu. Apa yang akan kamu lakukan? Mengutuk Dina? Menyalahkan Mira?

Jika kau adalah Mira, apa yang akan kau lakukan? Atau jika kau Dina, bagaimana perasaanmu? Puaskah setelah demikian mampu menggetarkan penghuni langit?

Berjuta pertanyaan akan terukir di benak mereka. Tentu saja bagi yang mau menggunakan pikirannya. Cuek bebek pun tak mengapa, tak akan ada orang yang marah kepadanya.

Mira adalah seorang ibu, Mira pasti memiliki ibu. Apakah Mira dulu memperlakukan ibunya seperti Dina memperlakukan Mira?

Suatu saat Dina pun akan menjadi ibu, tak takutkah Dina jika nanti anaknya akan memerlakukan Dina melebihi apa yang dilakukannya sekarang pada ibunya? Entahlah....

Selesai membaca cerita ini aku hanya mengelus dada. Dalam hati aku berkata, semoga aku dan anak keturunanku tak pernah memperlakukan ibunya seperti itu. Aamin....

Bagaimana dengan anda? Mumpung masih ada kesempatan minta maaf, pasti tak akan ada salahnya dilakukan. Meminta maaf tak butuh biaya, tak butuh tenaga. Hanya keberanian membuka dada lalu mengakui salah yang telah dilakukan. Itu saja!

Selebihnya terserah anda....

Selanjutnya, jika kita bisa menerka atau meramal masa yang akan datang, mungkinkah Dina berani memiliki seorang putri?

Simak ceritanya, dalam mimpi atau hayalan kita. Itu saja!

Tb, 16/08/2022

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun