Mohon tunggu...
Arif Meftah Hidayat
Arif Meftah Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Pabrik

Dengan atau tanpa saya menulis, dunia juga tidak akan berubah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mahasiswa

23 Januari 2019   07:51 Diperbarui: 23 Januari 2019   08:16 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinai hujan gemricik menetes pada terpal warung angkringan. Sepoi angin cukup mampu menghamburkan butiran air yang menempel di pohon ketapang dekat warung angkringan didirikan. Butiran air yang jatuh bersamaan memberikan kesan derasnya hujan yang linear dengan tingkat kemalaman.

Udara dingin. Cukup dingin untuk membuat berdiri bulu roman. Tapi tak cukup mendinginkan suasana percakapan di angkringan. Belum tengah malam. Tetapi cukup malam untuk disebut makan disaat yang tepat. Kelewat malam untuk bisa dikatagorikan makan sehat.

Tapi bagi mahasiswa dengan segudang dan beragam kegiatan, waktu tersebut adalah waktu terbaik untuk makan malam. Baru sempat, itulah dua kata yang selalu didalihkan.

"Mahasiswa sekarang itu sudah beda dengan mahasiswa jaman dulu", seorang pria berumur 26 tahun nan tetiba membuka topik pembicaraan baru setelah bahasan tentang pemilihan presiden telah dipurnakan.

Semua mata tertuju padanya. Termasuk empat orang mahasiswa yang belum mendapatkan minuman yang dipesan keempatnya.

Tak ada seorangpun yang yang menimpali Sang Pemuda.


"Zaman telah membentuk mahasiswa sekarang menjadi insan-insan yang manja. Manusia serba praktis yang ingin segala sesuatunya berhasil dengan baik bahkan tanpa proses sekalipun. Membentuk mahasiswa yang bermental tempe. Gampang menyerah", mulai ada penekanan pada kata-kata yang diucapkannya. Sedikit lebih tinggi daripada awal kalimat ia membuka pembicaraan.

Masih juga belum ada yang menimpali. Semua yang berada di sana mengangguk. Bisa sebagai tanda setuju. Bisa juga sebagai basa-basi untuk menghindari perdebatan.

Hanya suara kendaraan bermotor yang seolah menanggapi kata-kata yang diucapkan pemuda tersebut.

"Dari sisi akademis, ilmu mereka cetek. Materi dan pengetahuan hanya didapatkan dari konten-konten digital. Tidak ada ilmu dari kajian mendalam atas buku-buku yang banyak beredar di pasaran dan perpustakaan"

"Kemajuan ilmu pengatahuan? Apa yang diharapkan dari mahasiswa yang bahkan mengerjakan tugas hanya mengandalkan copy-paste di laman-laman situs website. Progres apa yang diharapkan dari mereka yang bahkan penelitian pun sekadar jalan karena kewajiban"

"Pengabdian sosial? Ah, tidak ada yang bisa diharapkan dari sekumpulan orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang senang alih alih pergi bersosial bersama masyarakat. Kesenangan dan banyaknya macam hiburan justru membuat mereka seperti macan ompong yang tidak berani menyuarakan pendapat. Tidak berani membantu mereka yang secara struktur selalu kalah dan ditindas regulasi"

"Mahasiswa sekarang. Bukannya nantinya menjadi solusi atasi permasalahan sosial masyarakat tetapi justru jadi bagian dari masalah itu sendiri"

Kata-katanya meluncur deras, tegas, dan meyakinkan. Masih hanya suara tetasan hujan dan kendaraan yang menyahut semua argumentasinya. Diambilnya nasi satu bungkus lagi. Diambil pula satu telur puyuh, sate ati, dan gorengan sebagai lauknya.

"Mas Titok", Seorang pemuda lain menyapa Sang Pemuda dari belakang.

Ada raut muka kegugupan dari seorang yang sedari tadi berbicara dengan sangat meyakinkan.

"Mas Titok, makalah dan power point untuk presentasi kuliah besok sudah kami buat semua. Kalau Mas Titok gak keberatan, Mas Titok yang besok presentasi. Kalau Mas Titok keberatan, Kami yang presentasi tidak masalah. Yang penting Mas Titok datang. Sudah tiga kali kelompok kita dicancel presentasinya hanya karena Mas Titok gak datang di perkuliahan. Dosen ingin kita semua datang di presentasi Mas"

Tidak sepatah katapun Tito ucapkan kepada Pemuda yang baru datang.

Ditinggalkan nasi dan lauk yang barusan diambil.

"Pak seperti biasa, semua dihitung dulu. Besok baru aku bayar"

Entah kenapa dingin malam itu terasa menjadi sangat menusuk tulang.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun