Mohon tunggu...
Arif Meftah Hidayat
Arif Meftah Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Pabrik

Dengan atau tanpa saya menulis, dunia juga tidak akan berubah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bias Lampu Taman

8 Maret 2018   23:59 Diperbarui: 9 Maret 2018   00:09 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari barusan kembali ke peraduan dengan menyisakan sedikit jingga bergradasi keabuan. Tidak bisa dikatakan sepi, beberapa orang cukup menjadikan taman terkesan sangat lenggang. Ada muda mudi yang berpasangan. Ada juga beberapa yang berolahraga demi menjaga kesehatan.

Dan aku, memilih duduk di bangku taman ini untuk menghabiskan waktu senja bersamamu berdua. Waktu berdua yang sangat berharga karena minimnya perjumpaan kita. Bisa saja aku mengunjungimu setiap minggu. Namun karena beban pekerjaanku yang juga salah satu masa depan kita berdua, sebulan sekali aku baru bisa mengunjungimu. Dan kau sepenuhnya mahfum tentang itu.

"Kenapa tak sekali-kali kau mencoba untuk gantian mengunjungiku? Tidakkah kau ingin tahu tentang tempat tinggalku di rantau? Tentang teman-temanku? Juga tentang semua kehidupanku disana?"

Semburat bias lampu taman jelas menerpa wajah Vitara. Ada perubahan raut muka yang jelas sekali ketara. Raut muka sedih sekaligus perasaan bersalah. Sangat berbeda dengan beberapa detik sebelumnya ketika kau terlihat amat sumringah. Amat bahagia akan perjumpaan kita.

"Menyoal ingin, bagaiaman mungkin kamu bisa meragukan keinginanku? Ingat, buka, lihat, dan putar lagi semua komunikasi kita lewat handphone. Masalah aku yang tidak pernah mengunjungimu, bukankah kau sudah sangat paham alasanku. Dan selama ini kamu bisa menerimanya bukan?"

"Kenapa kamu tidak seperti Riana yang sering berkunjung ke tempat kerja Aditya walaupun terbentang jarak lebih dari 200 km jauhnya. Atau seperti Vanesa yang mendatangi Indra dengan jarak yang hampir sama jauhnya?"

Sinar purnama terhalang awan tipis berarak kehitaman. Mendung menggelanyut di atas kota secara keseluruhan. Malam itu, dingin udara terbuka taman tidak semenusuk ketika tanpa awan yang menggelanyut jauh di angkasa. Dan bias lampu taman, semakin terang manampilkan sedih dan perasaan bersalah yang menjadi.

"Riana, selama ini memang kedua orang tuanya mengijinkannya untuk ke tempat Aditya. Untuk bisa seperti Vanesa yang berbohong kepada orang tuanya demi ke tempat Indra, sampai detik ini aku belum bisa. Aku tidak bisa membohongi Ayah dan Ibuku demi untuk egoku pribadi"

Air mata tumpah mengalir dari pipi Vitara. Ada perasaan bingung yang bercampur aduk di sana. Tidak ada kekecewaan sedikitpun dari mukanya. Yang ada sekali lagi hanyalah perasaan bersalah yang semakin menjadi. Ditengadahkan mukanya ke atas sambil memandang awan yang semakin legam.

Kugenggam jemarinya erat dan lekat.

"Maaf kan aku sayang. Soal kamu yang sebaiknya mengunjungiku, mungkin itu baru sebatas inginku. Jadi tak perlu kamu repot mempermasalahkan itu. Tidak perlu kamu membohongi ayah dan ibumu. Karena aku juga tahu bahwa kamu tidak akan mampu. Turuti saja semua saran dan nasihat ayah serta ibumu. Bagiku memang tidak terlalu penting siapa yang mengunjungi siapa. Yang terpenting aku masih punya waktu dan kesempatan untuk menjumpaimu. Aku adalah lelaki, dan memang seharusnya aku yang datang kepadamu. Aku memang yang harusnya lebih mengusahakanmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun