Antara Popularitas dan Kapasitas: Menimbang Kualitas Anggota DPR dari Perspektif Hukum Tata Negara
Oleh: Usman Arifin M, SH, MH
Pendahuluan
Setiap lima tahun sekali, rakyat Indonesia dihadapkan pada momentum penting: memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga legislatif ini memegang peran sentral dalam pembentukan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah, serta penyaluran aspirasi rakya yang memerlukan analisa dalam dan referensi komprehensif dalam memutuskan apapun yang terkait dengan rakyat tetapi berdasarkan survey yang mengemuka faktanya sebagian besar anggota dewan saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan tugasnya, dimana sebagian besar dari mereka ternyata ijazahnya dibawah expektasi public dimana sebagian besar dari mereka ijazahnya SMA dan bahkan ada beberapa tidak lulus SMA sangat miris dan mereka terpilih lebih kurangnya hanya karena tenar dan populeritasnya saja tanpa melihat latar belakang pendidikan yang mumpuni. Untuk itu wajar saja jika pertanyaan yang kerap mengemuka adalah apakah kualitas anggota DPR yang terpilih benar-benar mencerminkan kebutuhan bangsa, ataukah sekadar hasil dari popularitas sesaat?
Popularitas vs. Kapasitas, Dalam praktik pemilu, popularitas kandidat sering kali menjadi faktor penentu utama. Figur publik seperti selebritas, influencer, atau tokoh populer dengan basis massa yang kuat, lebih mudah memperoleh kursi DPR dibandingkan akademisi, praktisi hukum, atau aktivis masyarakat sipil yang mungkin lebih memahami substansi kerja legislasi. Fenomena ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, demokrasi membuka ruang bagi siapa saja untuk dipilih. Namun di sisi lain, fungsi DPR sebagai lembaga pembuat hukum membutuhkan kapasitas intelektual, integritas, dan pemahaman tata negara yang memadai, menurut saya seorang anggota DPR sesuai fungsinya sangat sentral dimana dibutuhkan seseorang yang berlatar belakang analisa dan refrensi yang dalam dan detail sehingga dapat menghasilkan diskusi yang berbobot dan dibutuhkan oleh masyarakat yangmana hal tersebut tidak didapatkan oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan tidak baik atau minimal sarjana yang terbiasa diskusi dan menganalisa berbagai jurnal dan artikel yang membuat pola berfikir lebih konstuktif hal ini tidak didapatkan atau tidak ada dalam anggota DPR saat ini dimana mereka menduduki kursi DPR hanya sebatas populeritas saja .
Perspektif Hukum Tata Negara, Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan syarat minimal bagi calon anggota legislatif: warga negara Indonesia, berusia tertentu, dan tidak sedang dicabut hak politiknya. Syarat formal ini sangat inklusif, tetapi tidak menyentuh aspek kualitas substantif seperti keahlian hukum, ekonomi, atau kebijakan publik.
Dari sudut pandang hukum tata negara, hal ini menimbulkan dilema normatif:
- Hak Dipilih Prinsip demokrasi menjamin setiap warga negara berhak mencalonkan diri.
- Kapasitas Kelembagaan DPR sebagai pembentuk undang-undang menuntut anggota yang memahami substansi regulasi.
- Ketegangan inilah yang menyebabkan kritik publik atas kualitas DPR tidak pernah surut. Dalam Pemilu 2024, sebanyak 24 selebritas terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029.
- Beberapa nama baru seperti Once Mekel, Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, Uya Kuya, Desy Ratnasari ikut masuk legislatif.
- Kemenangan mereka sangat erat hubungannya dengan popularitas dan jangkauan media, bukan semata-mata latar belakang akademik atau pengalaman legislasi. Meskipun popularitas bukan hal buruk, muncul pertanyaan: apakah mereka siap bekerja untuk menyusun undang-undang, melakukan pengawasan, dan menyerap aspirasi konstituen secara substantif?
Ketidakpastian Kapasitas: Kritik Publik dan Persepsi
- Selain kasus pribadi, persepsi publik muncul bahwa partai politik menggunakan selebritas sebagai "magnet suara" --- agar mudah menarik pemilih dengan nama besar dan pengenalan publik. Dalam banyak laporan media, akademisi hukum menyebut strategi ini prioritaskan popularitas dan finansial dibandingkan kualifikasi dan integritas.
- Contoh konkrit lainnya adalah dalam pelantikan, masyarakat mengkritik aspek penampilan atau gestur figur publik (misalnya komentar tentang pakaian, atau kesiapan berbicara dalam forum legislatif) sebagai indikator bahwa persiapan dan kapasitas belum memadai. Ini bisa menjadi sensasi media, tapi juga sinyal bahwa publik menilai bahwa selebritas yang jadi anggota perlu menunjukkan bahwa mereka lebih dari sekadar figur terkenal.
Analisis Kasus dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Dengan melihat contoh-contoh tersebut, beberapa pelajaran dan analisis muncul:
- Legitimasi Demokratis, Karena demokrasi memberi ruang bagi siapa pun memenuhi syarat formal untuk mencalonkan diri, selebritas yang terpilih tetap sah. Keputusan rakyat lewat pemilu adalah dasar legitimasi. Namun, legitimasi formal tidak otomatis menjamin legitimasi substantif --- bahwa anggota parlemen mampu melakukan tugasnya dengan baik.
- Kebutuhan Kapasitas Substantif, DPR memiliki fungsi kompleks: legislasi, pengawasan, dan representasi. Fungsi-fungsi ini memerlukan pemahaman tentang hukum, regulasi, kebijakan publik, serta kemampuan berargumentasi, negosiasi, dan koordinasi. Selebritas mungkin unggul dalam komunikasi publik, branding, dan jaringan sosial, tetapi belum tentu dalam aspek teknis dan substantif tersebut.
- Kewajiban Partai Politik, Partai politik memiliki peran penting dalam menyeleksi calon yang bukan hanya populer tapi juga memiliki kapasitas. Jika partai hanya fokus pada elektabilitas, kualitas legislatif bisa terabaikan.
- Peran Pendidikan Politik dan Literasi Pemilih, Agar pemilih mampu menilai calon bukan hanya dari nama besar, perlu ada literasi politik agar publik memahami kriteria apa yang seharusnya diperhatikan: integritas, rekam jejak, kemampuan membuat kebijakan, bukan hanya figur media atau hiburan.
- Kasus-kasus seperti Mulan Jameela dan banyak selebritas masuk DPR menunjukkan bahwa popularitas dapat menjadi pintu masuk, tapi bukan jaminan bahwa seseorang akan efektif dalam menjalankan fungsi legislatif.
- Dari perspektif hukum tata negara, syarat formal sudah memadai sebagai landasan demokrasi, tapi regulasi dan praktik harus didukung dengan mekanisme peningkatan kapasitas, transparansi, dan pertanggungjawaban.
- Opini populer harus mendorong diskusi lebih lanjut: bagaimana agar calon legislatif (termasuk selebritas) tidak hanya "terlihat" siap, tetapi benar-benar siap: dilengkapi pengetahuan, komitmen, dan moral yang diperlukan.