Kurangnya partisipasi publik melahirkan beberapa konsekuensi:
- Resistensi di media sosial, Masyarakat mengekspresikan ketidakpuasan dengan membangun narasi "pajak memberatkan rakyat", yang cepat menyebar dan menciptakan opini dominan negatif.
- Menurunnya kepercayaan publik (trust deficit), Ketika warga merasa tidak dilibatkan, kepercayaan terhadap pemerintah daerah melemah, meskipun kebijakan itu sah menurut hukum.
- Risiko kepatuhan pajak rendah, Wajib pajak yang tidak memiliki sense of ownership cenderung enggan membayar tepat waktu, bahkan bisa menunda atau menolak, sehingga efektivitas kebijakan berkurang.
- Potensi konflik hukum dan sosial, Rendahnya legitimasi sosial bisa membuka peluang terjadinya sengketa administratif (misalnya melalui gugatan keberatan) atau aksi protes kolektif.
Perspektif Hukum dan Demokrasi, dalam konteks hukum administrasi negara misalnya asas partisipasi dan asas keterbukaan merupakan prinsip penting dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Meskipun tidak secara eksplisit menjadi syarat legalitas kenaikan tarif, asas ini berperan besar dalam membangun legitimasi kebijakan. Artinya, keberhasilan implementasi kebijakan fiskal tidak hanya ditentukan oleh validitas yuridis, tetapi juga oleh derajat penerimaan sosial. Di sinilah perbedaan antara rule by law (aturan berlaku secara formal) dan rule of law (aturan dipatuhi karena dianggap adil oleh masyarakat). Secara yuridis, kenaikan tarif PBB-P2 Kabupaten Pati 2025 sah dan memiliki dasar hukum yang jelas berdasarkan UU No. 28/2009 dan UU No. 1/2022. Namun, sahnya kebijakan tersebut belum diikuti oleh legitimasi sosial, karena rendahnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan. Rendahnya partisipasi ini berimplikasi pada munculnya resistensi publik, lemahnya kepatuhan pajak, dan potensi krisis kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Dengan demikian, tantangan terbesar bukan pada aspek legalitas, tetapi pada bagaimana pemerintah daerah mampu membangun legitimasi sosial melalui keterbukaan informasi, konsultasi publik, dan komunikasi yang efektif.
- Namun, legitimasi sosial belum sepenuhnya tercapai karena rendahnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan.
- Hal ini menegaskan pentingnya prinsip transparency dan public participation dalam good governance.
Kesimpulan
Analisis menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan tarif PBB-P2 Kabupaten Pati tahun 2025 menuai sentimen mayoritas negatif di media sosial. Wacana publik menyoroti isu keadilan pajak, transparansi penggunaan dana, dan beban ekonomi masyarakat.
Secara yuridis, kebijakan tersebut sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dari perspektif sosiologis-hukum, kebijakan tersebut masih memerlukan legitimasi sosial yang lebih kuat. Oleh karena itu, pemerintah daerah disarankan untuk:
- Meningkatkan transparansi pemanfaatan pajak melalui laporan yang mudah diakses publik.
- Melibatkan masyarakat sejak tahap perumusan kebijakan.
- Memperkuat komunikasi publik di media sosial dengan strategi partisipatif, bukan sekadar sosialisasi top-down.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
- Adam Smith, The Wealth of Nations.
- Jrgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere.
- Artikel dan laporan BP2D Kabupaten Pati, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI