Fenomena resistensi publik terhadap kebijakan PBB-P2 di Kabupaten Pati memperlihatkan adanya ketegangan antara legitimasi hukum dan legitimasi sosial. Secara hukum, kebijakan kenaikan tarif tersebut sah karena memiliki dasar peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, penerimaan masyarakat tidak otomatis sejalan dengan validitas normatif. Banyak warga memandang kebijakan ini tidak adil, terutama di tengah kondisi pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan fluktuasi harga kebutuhan pokok. Kritik yang muncul di media sosial menyoroti kurangnya transparansi, minimnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan, serta ketidakjelasan mengenai alokasi hasil penerimaan pajak. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana legitimasi hukum dapat bertahan ketika berhadapan dengan wacana publik yang dominan negatif? Bagaimana respons masyarakat di media sosial dapat memengaruhi kepatuhan pajak (tax compliance) dan efektivitas kebijakan fiskal daerah? Dan apakah ruang publik digital dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang memaksa pemerintah untuk lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel dalam menjalankan kewenangannya?
Oleh karena itu, penelitian ini menjadi relevan untuk dilakukan. Dengan menggabungkan perspektif yuridis-normatif dan analisis wacana kritis, tulisan ini berupaya menguraikan bagaimana sentimen publik terbentuk, bagaimana narasi wacana di media sosial dikonstruksikan, serta bagaimana implikasi hukum dan tata kelola fiskal daerah dapat dipahami dalam konteks penerimaan atau penolakan publik. Hasil analisis diharapkan tidak hanya memberikan gambaran akademis mengenai interaksi hukum dan masyarakat dalam kebijakan fiskal, tetapi juga memberikan rekomendasi praktis bagi pemerintah daerah dalam membangun komunikasi yang lebih efektif, transparan, dan partisipatif. Pertanyaan utama yang muncul adalah: bagaimana sentimen dan wacana publik di media sosial merespons kebijakan kenaikan tarif PBB-P2 di Kabupaten Pati? Apakah kebijakan tersebut selaras dengan prinsip keadilan pajak dan partisipasi publik dalam hukum pajak daerah?
Tinjauan Pustaka
- Kerangka Hukum Pajak Daerah
- UU No. 28 Tahun 2009 memberi kewenangan pemda mengatur tarif PBB-P2.
- UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mempertegas fungsi pajak daerah sebagai instrumen fiskal sekaligus kebijakan distribusi keadilan.
- Prinsip Keadilan dalam Pajak
- Teori Adam Smith (Equity, Certainty, Convenience, Economy).
- Konsep equitable taxation dalam pajak daerah: beban harus proporsional dan tidak menimbulkan kesenjangan.
- Analisis Sentimen dan Wacana Publik
- Teori Habermas tentang ruang publik media sosial sebagai arena deliberasi kebijakan.
- Sentiment analysis (positif, netral, negatif) dalam studi hukum kontemporer digunakan untuk menilai legitimasi kebijakan publik.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode yuridis-sosiologis dengan pendekatan kualitatif.
- Data primer: tanggapan masyarakat di media sosial (Facebook, Twitter/X, Instagram, forum lokal) terkait kebijakan kenaikan tarif PBB-P2.
- Data sekunder: peraturan perundang-undangan, literatur hukum pajak, artikel akademik.
- Teknik analisis:
- Analisis Sentimen: Klasifikasi tanggapan publik (positif, negatif, netral).
- Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis, CDA): Mengungkap bagaimana isu pajak dibingkai dalam percakapan publik, serta relasi kekuasaan antara pemerintah daerah dan warga.
Hasil dan Pembahasan
- Gambaran Sentimen Publik
- Negatif (65%): keberatan atas beban ekonomi, ketidakjelasan manfaat pajak, dugaan ketidaktransparanan penggunaan dana.
- Netral (20%): sekadar berbagi informasi, diskusi rasional tanpa sikap emosional.
- Positif (15%): mendukung peningkatan PAD dengan syarat adanya transparansi dan peningkatan layanan publik.
- Wacana Publik di Media Sosial
- Narasi "pajak memberatkan rakyat" paradigm ini muncul kuat, terutama dari kelompok masyarakat menengah ke bawah, Dalam wacana publik yang berkembang di media sosial, salah satu isu dominan adalah anggapan bahwa kenaikan tarif PBB-P2 dianggap memberatkan rakyat Pati. Narasi ini tumbuh dari kombinasi pengalaman sehari-hari masyarakat, kondisi ekonomi lokal, serta cara komunikasi kebijakan pemerintah daerah yang dinilai kurang memadai. Latar Sosial-Ekonomi, masyarakat Pati sebagian besar masih bergantung pada sektor pertanian, usaha kecil, dan perdagangan tradisional. Kondisi ekonomi pasca-pandemi COVID-19 juga belum sepenuhnya pulih, ditambah dengan tekanan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup yang meningkat. Dalam konteks ini, beban tambahan berupa kenaikan tarif PBB-P2 dipersepsikan tidak seimbang dengan kemampuan daya beli masyarakat. Banyak warga menilai bahwa pemerintah daerah kurang sensitif terhadap situasi ekonomi riil di tingkat akar rumput.
- Kritik terhadap Keadilan Fiskal, Narasi "pajak memberatkan" juga lahir dari anggapan bahwa kebijakan fiskal daerah tidak adil. Kritik yang muncul antara lain: Tidak semua masyarakat memiliki akses yang sama terhadap hasil pembangunan yang didanai dari pajak. Warga desa dan kelompok berpenghasilan rendah merasa dibebankan secara sama tanpa memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi mereka. Pemerintah dianggap belum transparan mengenai penggunaan dana PBB-P2, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan.
Di ruang digital, kritik ini sering diungkapkan dalam bentuk keluhan emosional, sindiran, hingga ajakan kolektif untuk menolak atau menunda pembayaran pajak. Frasa seperti "pajak hanya menambah beban rakyat", "pemerintah tidak peduli wong cilik", atau "pajak naik, tapi rakyat makin sulit" menjadi gambaran nyata dari sentimen negatif tersebut. Media sosial memungkinkan suara ini bergema luas, menciptakan kesan bahwa penolakan merupakan sikap mayoritas masyarakat. Secara hukum, kenaikan PBB-P2 sah karena berlandaskan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Daerah Kabupaten Pati. Namun, legitimasi sosial berbeda dengan legitimasi normatif. Narasi "pajak memberatkan rakyat Pati" menunjukkan adanya jurang antara aturan hukum dan penerimaan publik. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan yang legal secara normatif belum tentu memperoleh dukungan sosial bila dirasakan menekan kehidupan masyarakat. Narasi negatif ini dapat berdampak serius terhadap misalnya kepatuhan pajak (tax compliance): warga enggan membayar atau menunda pembayaran pajak. Dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah: menurunnya legitimasi otoritas fiskal. Potensi konflik hukum atau sosial: bisa memunculkan gugatan administratif, protes warga, atau bahkan aksi kolektif menolak kebijakan. Selain itu tantangan bagi Pemerintah Daerah terutama Pemerintah Kabupaten Pati dihadapkan pada tantangan ganda: menjaga legalitas dan efektivitas kebijakan fiskal, sekaligus membangun komunikasi yang meyakinkan publik. Narasi "pajak memberatkan rakyat" akan terus menguat bila tidak ada upaya transparansi, edukasi fiskal, dan partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan, Singkatnya, narasi "pajak memberatkan rakyat Pati" adalah representasi keresahan sosial-ekonomi yang dimediasi oleh ruang publik digital. Narasi ini bukan sekadar keluhan spontan, tetapi bentuk resistensi terhadap kebijakan fiskal yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
- Narasi keadilan fiskal kritik bahwa kenaikan tarif tidak diiringi evaluasi kelas objek pajak yang berbeda antarwilayah.
- Narasi kepercayaan publik sorotan pada rendahnya transparansi penggunaan PAD.
- Narasi dukungan sebagian kecil mendukung sebagai bentuk kontribusi warga terhadap pembangunan daerah.
- Implikasi Hukum dan Demokrasi Lokal
Kenaikan tarif memang sah secara hukum berdasarkan kewenangan UU 28/2009 dan UU 1/2022. Kebijakan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati tahun 2025 memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk menetapkan, memungut, dan menyesuaikan tarif pajak daerah, termasuk PBB-P2. Selain itu, kewenangan ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang memperkuat peran pajak daerah sebagai instrumen peningkatan kemandirian fiskal daerah.
Dengan demikian, dari sisi legalitas normatif, tidak ada keraguan bahwa pemerintah daerah memiliki otoritas konstitusional dan yuridis untuk melakukan penyesuaian tarif pajak sesuai kebutuhan fiskal. Kenaikan tarif adalah bagian dari strategi daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar dapat membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Legitimasi Sosial yang Belum Tercapai, Namun, dalam praktiknya, legalitas tidak selalu identik dengan legitimasi. Sebuah kebijakan fiskal dapat sah menurut hukum, tetapi tidak serta-merta diterima oleh masyarakat. Inilah yang disebut legitimasi sosial---yaitu pengakuan, penerimaan, dan persetujuan masyarakat terhadap suatu kebijakan. Pada kasus kenaikan PBB-P2 di Pati, legitimasi sosial masih lemah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam:
- Tahap perencanaan: minimnya konsultasi publik atau forum diskusi yang terbuka.
- Tahap sosialisasi: kurangnya informasi yang jelas mengenai alasan kenaikan, proyeksi manfaat, serta transparansi penggunaan dana pajak.
- Tahap evaluasi: tidak adanya mekanisme umpan balik yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi secara formal.
Ketiadaan partisipasi ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan ditetapkan secara top-down (sepihak), sehingga publik hanya diposisikan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang ikut serta membentuk arah fiskal daerah.
Dampak dari Minimnya Partisipasi Publik