Mohon tunggu...
Arif Budiman
Arif Budiman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Peternak akal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rousseau, Grotius, dan Kita yang Jadi Ternak Demokrasi

8 Juli 2025   01:55 Diperbarui: 8 Juli 2025   01:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Manusia adalah ternak yang lebih dari sekadar ternak dibandingkan dengan ayam atau ternak lainnya yang kelak akan di makan oleh sang pengembala.

Kurang atau lebih sekiranya satu setengah bulan saya telah menyadari bahwa betapa sedikitnya kapasitas otak saya. Memang tak pantas membandingkan otak saya dengan otak seorang pria asal Geneva (Jenewa), sebuah kota yang sehela nafas berbatasan langsung dengan Prancis, pria yang banyak di sebut orang namun amat jarang di baca, pria yang hidup di Abad Pencerahan, pria yang kelak punya sumbangsih besar atas benih-benih Revolusi Prancis, pria yang menantang ide besar para filsuf semacam Hobbes, Grotius, Philo dan Aristoteles. Ciri semacam itu membawa kita pada nama besar Jean Jacque Rousseau.

Setelah mengguncang Bab Pertama Social Contract dengan kalimat awal yang amat magis, yang katanya membawa kita terbang jauh di masa manusia hidup dalam ketidakpatuhan dan tidak tunduk pada siapapun, di masa yang menurut Spinoza manusia hidup dalam istilah In Abstraco dan alam yang Naturalis, di masa yang menurut Hobbes manusia hidup dalam keadaan Homo Homini Lupus. Yaitu masa ketika belum di kenal sebuah organisasi terbesar, dalam hal ini yang menurut Aristoteles mewadahi kebaikan tertinggi umat manusia, adalah masa ketika negara belum muncul.

Pada Bab Kedua yakni dalam In The First Societas, pria asal Geneva (Jenewa) itu mengajak saya untuk terlibat debat sengit antara dirinya dengan para filsuf terdahulu yang di muka saya singgung namanya. Tentu bukan perdebatan soal siapa yang lebih layak masuk surga, apalagi perdebatan soal wanita. Tetapi soal kesedihan pria itu melihat tergantinya rasa cinta oleh kepuasan akan memerintah yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.

Dengan Grotius misalnya, meskipun sebenarnya mereka berada dalam Program Studi yang sama yakni Program Studi aliran Hukum Alam tetapi sejatinya kedua orang ini sedikit punya perbedaan pandangan dalam beberapa hal. Dalam Bab Kedua ini pria asal Geneva (Jenewa) itu menguliti habis-habisan tulisan Grotius dalam De Jure Belli Ac Pacis yang memiliki tesis bahwa ia (Grotius) beranggapan kekuasaan itu tetap sah meski lewat penaklukan (peperangan/perbudakan/penjajahan), tentu pria asal Geneva (Jenewa) itu tak tinggal diam, menurutnya cara pandang semacam ini bisa memberi legitimasi atas kekuasaan tiran. Dan memang pantas pula pria asal Geneva (Jenewa) itu tak sepakat dengan tesis Grotius, karena memang pria asal Geneva (Jenewa) itu punya suatu konsep yang lebih demokratis, dimana perjanjian sosial adalah dasar legitimasi kekuasaan.

Pria asal Geneva (Jenewa) itu setelah sedikit banyak saya ketahui memang agak sarkas. Bagaimana tidak? ia dengan terang-terangan menyinggung Grotius dengan berkata "Karena itu Grotius meragukan, apakah seluruh manusia itu menjadi milik seratus orang saja, atau justru seratus orang itu menjadi milik seluruh ras manusia? Dari semua isi bukunya, Grotius cenderung pada pendapat pertama." Disinilah letak sarkas yang terdidik (tak jarang kita temui kalangan kita bahkan tak terdidik untuk menghina), perkatan pria asal Geneva (Jenewa) itu sontak membawa saya pada konsep antara Demokrasi dan Tirani Oligarki, dan jelas sekali pria asal Geneva (Jenewa) itu menarik kesimpulan bahwa Grotius salah satu peletak konsep Tirani Oligarki.

Apa pentingnya pembicaraan semacam ini bagi kita? Mari kita bahas. Pertama-tama perlulah kita ketahui bahwa baik tirani maupun oligarki keduanya adalah konsep yang berawal dari asumsi "perlindungan" yang kemudian digunakan sebagai alat untuk meghisap. Suatu konsep yang juga ikut diemban oleh sebuah peternakan, apalagi jika kita menegok sarkasme pria asal Geneva (Jenewa) "seluruh manusia menjadi milik seratus orang saja" selain perkataan ini amat erat dengan analogi tirani, ia juga erat dengan analogi ternak, dimana para penggembala yang jumlahnya sedikit, lebih unggul daripada rakyat yang justru mayoritas, tak ada seorang pengembala di semesta ini yang berternak atas dasar kasih sayang, sebaliknya mereka berternak atas dasar eksploitasi, entah ternaknya akan dilahap olehnya atau bahkan dijual.

Fenomena hari ini amat sangat berkelindan dengan peternakan, jika dahulu para pengembala beternak hewan, sekarang manusia menggeser peran para koloni ayam, babi, dan kerbau. Bahkan kini peran ayam lebih mulia dari manusia yang hidupnya di gembala, ayam misalnya akan tetap berkokok meski sang pengembala belum memberi pakan. Sementara manusia yang digembala, mereka harus mengendus terlebih dahulu sebelum berkokok, memilah mana yang untung baginya dan mana yang merugikan baginya. Bahkan para ayam itu setidaknya masih bisa terbang bebas walau sebentar.

Merekalah yang hari-hari ini menguasai hajat hidup kita, dengan dalih perlindungan, pengamanan, pembagunan. Merekalah yang hari ini mendeklarasikan rasnya adalah keturunan seorang raja utusan tuhan dari timur tengah sana. Banyak diantara kawan saya yang kini menjadi hewan, berkokok (baik di media sosial maupun di realitas hidup) untuk mendapat makan. Dan jangan lupa banyak pula penguasa kita yang menjadi pengembala, mereka beternak suara,kuasa dan kebodohan, dengan itulah baik pengembala maupun ternak mendapat makanananya.

Agaknya kita perlu menaruh cermin di setiap kandang, apakah kasta manusia kini telah mengganti kasta hewan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun