Di tengah derasnya arus media sosial, sebuah fenomena kecil berubah menjadi kegaduhan nasional: bendera bajak laut dari manga dan anime One Piece---ikon Jolly Roger dengan tengkorak bertopi jerami---berkibar di tiang sekolah dan sejumlah ruang publik. Awalnya dianggap lelucon remaja, aksi itu dengan cepat membesar, jadi headline berita, mengundang kecaman, bahkan memicu keterlibatan aparat.
Kasus ini menyingkap pertanyaan yang lebih mendasar: apa yang sebenarnya sedang kita perdebatkan? Apakah sekadar soal kain yang dikibarkan, atau makna di balik simbol yang tergeser?
Ekspresi Budaya Pop atau Krisis Simbol?
Tak dapat dimungkiri, One Piece adalah fenomena global. Generasi muda menjadikannya lebih dari sekadar tontonan; ia adalah dunia imajinasi, ruang pelarian, dan simbol pertemanan. Bagi mereka, mengibarkan bendera Jolly Roger bukanlah "mengganti bendera negara", melainkan menunjukkan identitas komunitas, sama halnya seperti memakai jersey klub bola atau menempelkan stiker karakter favorit di motor.
Masalahnya, kali ini bukan stiker atau kaos, melainkan bendera di tiang sekolah---tempat Merah Putih biasa berkibar. Ketika simbol nasional bersinggungan dengan simbol fiksi, sensitivitas publik pun tersentuh.
Humor yang Meledak Jadi Huru-Hara
Bagi pelaku, ini mungkin hanya prank. Sebuah "aksi iseng" yang dimaksudkan untuk lucu-lucuan. Namun, di era media sosial, humor cepat bertransformasi menjadi bahan bakar huru-hara. Foto dan video bendera bajak laut tersebar luas, ribuan komentar bermunculan, dan kemarahan kolektif tercipta seketika.
Masalah ini bukan lagi sekadar "aksi anak sekolah", tetapi bergeser menjadi perdebatan tentang martabat nasional. Bendera negara bukan sekadar kain, melainkan simbol sejarah dan identitas. Dan ketika simbol itu "tergeser", reaksi keras masyarakat bisa dimengerti.
Pendidikan Simbol yang Tertinggal
Namun, marah saja tidak cukup. Fenomena ini menunjukkan celah yang sering kita abaikan: edukasi simbol dan nasionalisme yang kurang relevan dengan cara berpikir generasi Z.