Bagi banyak remaja, tiang bendera hanyalah "tiang di halaman sekolah", bukan "tiang sakral" tempat Merah Putih berkibar. Mereka tumbuh di era di mana budaya global lebih mudah diakses daripada narasi sejarah nasional. Akibatnya, ketika mereka mengibarkan bendera One Piece, niat mereka mungkin sekadar iseng, tetapi tak memahami konsekuensi simbolik yang ditimbulkan.
Belajar Mengelola Budaya Pop
Daripada sekadar menghukum atau menuding, fenomena ini bisa dijadikan momentum untuk memikirkan ulang cara kita mengelola budaya pop dan membumikan nasionalisme. Mengapa tidak menggunakan karakter seperti Luffy atau Naruto sebagai jembatan kampanye cinta tanah air? Mengapa tidak mengajak budaya pop menjadi bagian dari narasi kebangsaan, ketimbang melulu dianggap ancaman?
Pendekatan seperti ini akan lebih efektif daripada sebatas menakut-nakuti atau mengobral ancaman pidana. Sebab, budaya pop---suka atau tidak---sudah jadi bahasa utama generasi muda.
Dari Meme Jadi Cermin
Bendera One Piece yang berkibar itu memang awalnya hanya "meme" di dunia nyata. Tapi meme itu kini jadi cermin---cermin tentang bagaimana kita merespons humor remaja, menghadapi gempuran budaya global, dan merawat makna simbol negara.
Kita boleh marah saat Merah Putih "tergusur" oleh bendera bajak laut. Namun kita juga perlu bertanya lebih dalam, apakah kita benar-benar takut pada benderanya, atau takut kehilangan makna di baliknya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI