Jadi, otak mereka itu kayak komputer yang masih loading—belum siap ngatur "program marah" yang tiba-tiba muncul.
Makanya, saat anak-anak frustasi, mereka gampang meledak, ngomel, atau bahkan nyalahin orang lain tanpa mikir panjang.
Kalau hal ini terus-terusan dibiarkan, lama-lama jadi kebiasaan. Mereka mulai mikir, "Ah, toxic itu biasa di game." Padahal, itu bahaya banget buat tumbuh kembang mereka.
Nah, di sinilah fitur mute jadi semacam "tombol jeda". Ketika suara atau chat dari pemain lain dibungkam, anak punya waktu buat tarik napas, tenang dulu, dan mulai belajar mengendalikan emosi sebelum ngomong atau ngetik sesuatu.
Fitur ini bukan cuma bikin suasana game lebih adem, tapi juga membantu anak belajar sabar dan bertanggung jawab sama kata-katanya.
Jadi, bukan cuma soal "biar gak denger yang toxic", tapi juga soal ngajarin anak gimana caranya ngatur diri di dunia yang kadang riuh dan penuh tekanan ini.
Nggak Bisa Ngomong, Jadi Nggak Bisa Sembarangan Ngeluapin
Bayangkan saat anak lagi marah karena kalah bermain game, tapi gak bisa ngomong lewat mic.
Mau ngetik, eh fitur chat juga dibatasi, bahkan hanya bisa pakai pesan-pesan singkat yang sudah disiapkan seperti "Nice try!" atau "We'll get 'em next time!". Mau gak mau, anak jadi diam — dan dari diam itu, terkadang muncul kesadaran.
Fitur mute yang membatasi kemampuan komunikasi ini bukan cuma soal "meredam" suasana hati yang panas.
Lebih dari itu, fitur ini memberi ruang dan waktu buat anak-anak mengatur ulang emosi sebelum bereaksi. Di usia di mana emosi masih meledak-ledak, jeda ini sangat penting sebagai latihan pengendalian diri.
Anak-anak juga sangat pandai meniru. Kalau mereka terus dengar kata kasar di game, mereka mulai anggap itu normal.