Mohon tunggu...
Arief Rahman Fadillah
Arief Rahman Fadillah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Pendidikan di Era Pandemi Covid-19: Kritis atau Apatis?

4 Januari 2021   11:29 Diperbarui: 4 Januari 2021   12:02 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih palsu membatasi mereka yang takut dan pendiam, yang "menolak kehidupan", untuk mengulurkan tangan gemetar mereka. Kemurahan hati yang sejati terletak pada upaya agar tangan-tangan ini --- apakah itu individu atau seluruh bangsa --- perlu semakin sedikit diulurkan dalam permohonan sehingga semakin banyak mereka menjadi tangan manusia yang bekerja dan, bekerja, mengubah dunia. Hal inilah yang sedang terjadi di dalam pendidikan di Indonesia, terutama pada saat pandemi seperti ini dituntut penguasaan teknologi dan aplikasi.

Selain pembahasan dari Paulo Freire, pendidikan di era pandemi juga akan menarik jika dibahas dalam perspektif Ivan Illich. Bukunya yang berjudul Deschooling Society akan relevan dengan pembahasan permasalahan pendidikan di era pandemi. 

Pandemi memaksa peserta didik untuk belajar secara mandiri, dengan metode dari guru yang hanya menjelaskan materi kemudian memberikan tugas yang menjadi beban peserta didik. Dalam konteks ini, penjelasan pemikiran Ivan Illich akan membahas peran guru dalam pendidikan di era pandemi covid-19. 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kendala yang dihadapi saat pandemi adalah sulitnya mengkonstruksi pemahaman peserta didik dalam pembelajaran. Sekolah, pada dasarnya, cenderung menuntut waktu dan tenaga para pesertanya. Hal ini, pada gilirannya, membuat guru menjadi penjaga, pengkhotbah, dan terapis. 

Dalam masing-masing dari ketiga peran ini, guru mendasarkan otoritasnya pada klaim yang berbeda. Guru sebagai penjaga bertindak sebagai pembawa acara, yang membimbing murid-muridnya melalui ritual labirin yang berlarutlarut. Dia mengatur ketaatan pada aturan dan mengelola rubrik yang rumit. 

Dalam kondisi terbaiknya, dia menyiapkan panggung untuk memperoleh beberapa keterampilan seperti yang selalu dimiliki kepala sekolah. Tanpa ilusi untuk menghasilkan pembelajaran yang mendalam, dia melatih murid-muridnya dalam beberapa rutinitas dasar. Guru sebagai moralis menggantikan orang tua, Tuhan, atau negara. Dia mengindoktrinasi murid tentang apa yang benar atau salah, tidak hanya di sekolah tetapi juga di masyarakat pada umumnya. Dia berdiri dengan demikian memastikan bahwa semua merasa diri mereka anak-anak dari keadaan yang sama. Begitulah peran pendidik dinarasikan pada masa pandemi Covid-19. 

Guru sebagai terapis merasa berwenang untuk menyelidiki kehidupan pribadi muridnya untuk membantunya tumbuh sebagai pribadi. Ketika fungsi ini dijalankan oleh seorang penjaga dan pengkhotbah, biasanya itu berarti bahwa dia membujuk murid untuk tunduk pada penjinakan visinya tentang kebenaran dan perasaannya tentang apa yang benar. Begitulah peran guru dalam pendidikan di era pandemi dapat dinarasikan, melalui pemikiran Ivan Illich.

Kedua tokoh tersebut membantu kita untuk menganalisis apa yang sedang terjadi di dalam pendidikan di era pandemi. Freire dan Illich berpandangan bahwa sekolah mengekang martabat manusia untuk memperoleh kebebasan. 

Dengan demikian, dalam pendidikan terdapat proses pendidikan gaya bank, hal ini disampaikan oleh Paulo Freire. Dimana pada pendidikan di era pandemi, siswa seperti wadah yang menjadi penyimpanan dan guru sebagai penyimpan. Tidak ada komunikasi antara keduanya. Guru menyampaikan dan membuat simpanan. Tidak ada proses dialog untuk menghargai martabat manusia dan siswa harus tunduk. Ini mendandakan bahwa Pendidikan gaya bank di era pandemi telah menghilangkan ontologis manusia yang otentik. Dalam hal ini Paulo Freire menekankan proses dialog dalam Pendidikan. 

Dialog menumbuhkan kesadaran bagi yang tertindas untuk bebas dari belenggu penindas dan menghargai manusia sebagai makhluk otentik. Kurangnya ruang diskusi di dalam pendidikan membuat peserta didik menjadi objek yang pasif, bahkan mematikan daya kritis peserta didik tersebut. Metode pembelajaran berjalan di masa pandemi berjalan monoton sehingga mendorong peserta didik menjadi apatis dalam pembelajaran dan hanya mementingkan tugas yang diberikan, tanpa memahami materi yang diberikan. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah utama dalam pendidikan di era pandemi.

Dari fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa pendidikan di era pandemi     memproduksi sistem pendidikan gaya bank, dimana guru berperan sebagai penjaga, pengkhotbah, sekaligus terapis. Pendidikan pada saat ini terpaku kepada guru dengan banyaknya pemberian tugas yang dibebankan kepada para peserta didik dan mengabaikan proses dialog menghilangkan hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun