Mohon tunggu...
Arief Rahman Fadillah
Arief Rahman Fadillah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Pendidikan di Era Pandemi Covid-19: Kritis atau Apatis?

4 Januari 2021   11:29 Diperbarui: 4 Januari 2021   12:02 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pandemic Covid-19 merupakan sebuah fenomena yang mendunia, salah satu negara terdampak adalah Indonesia. Indonesia saat ini menjadi penyumbang terbesar Covid-19 dengan 6.000 kasus di tiap minggunya. Pemerintah Indonesia sejak awal telah menetapkan kebijakan untuk mengurangi laju pertumbuhan Covid-19. 

Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yaitu dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Laju Covid-19 yang tidak tertahan memberi dampak kepada sektor pendidikan, dimana sektor pendidikan dengan sistem pembelajaran tatap muka ditutup, kemudian mengubah sistem pendidikan dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dan memunculkan cluster baru di sekolah.

Dalam penerapan PJJ ternyata muncul banyak tantangan dan juga hambatan untuk menunjang proses pembelajaran yang baru. Setiap elemen-elemen pendidikan harus berjuang untuk mencapai kurikulum yang sudah ditetapkan. Masalah-masalah tersebut muncul karena kurangnya kemampuan adaptasi baik dari pihak sekolah ataupun dari peserta didiknya. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai kesiapan sekolah terutama guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik dalam sistem pembelajaran jarak jauh. 

Pengubahan metode pembelajaran menjadi secara daring memunculkan pro dan kontra. Banyak terdapat kendala dan hambatan yang dialami oleh guru, salah satunya sarana atau platform yang digunakan. Tidak semua peserta didik memiliki kesiapan sarana dan prasarana yang memadai. Belum lagi metode pembelajaran terpaku kepada guru atau dosen.

"Beban tugas anak yang terlalu banyak dengan format pengumpulan tugas yang beragam membebani anak serta orang tua yang mengawasi selama belajar dari Rumah, dan beban ganda ini dapat mengganggu kondisi psikologi anak dan orang tua," ujar Dini dalam siaran pers yang diterima Kompas.com.

Dari kutipan tersebut maka adanya kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru dan dosen sejak awal menjelaskan bahwa dirinya adalah fasilitator, sedangkan peserta didik menjadi pengguna. Penjelasan tersebut memperjelas bahwa peserta didik harus menggali materi pelajaran secara mandiri, kemudian guru hanya menjelaskan tanpa memberikan ruang dialog untuk membebaskan peserta didik. Kesulitan menggali pelajaran membuat peserta didik menjadi apatis, ditambah lagi platform yang digunakan guru tidak begitu ketat untuk mengontrol pemahaman dan kehadiran peserta didik. 

Selain itu dibebankannya tugas oleh guru kepada peserta didik di masa pandemic semakin membuat peserta didik merasa semakin tertindas. Dengan kata lain, pendidikan di era pandemi mengonstruksi kepasifan belaka. Guru berusaha untuk menjadikan peserta didiknya menjadi kritis, terutama pada tingkat sekolah menengah sampai pendidikan tinggi. Namun justru sebaliknya, siswa di dalam pembelajaran di masa pandemi menjadi apatis karena metode pembelajaran yang tidak partisipatif.

Kasus ini dapat kita kaitkan dengan pemikiran tokoh pendidikan yang relevan hingga saat ini, yaitu melalui pemikiran Paulo Freire mengenai pendidikan kaum tertindas. Inti dari pemikirannya adalah pembebasan untuk menjadi manusia yang lebih utuh. 

Dalam pandemi Covid-19 dapat dilihat banyak terjadi dehumanisasi pendidikan yang dilakukan oleh sekolah. Hal ini dapat kita simak dan dengarkan dari para peserta didik yang saat ini berjuang untuk mencapai pembelajaran yang diinginkan guru. Peserta didik dituntut untuk terus tunduk, taat, dan mematuhi apa yang diperintahkan kepadanya. Tentu saja peserta didik memiliki hak untuk melawan, tetapi otoritas sekolah memiliki hak yang lebih besar sehingga ia mengontrol segala pola yang ada dalam pendidikan di sekolah. 

Peserta didik dirampas kemanusiaannya oleh sekolah yang bekerja sama dengan sistem kelas atas. Fenomena tersebut dapat kita bagi adanya dua subjek dalam kasus tersebut, yaitu penindas dan tertindas. Penindas melakukan kekerasan kepada tertindas melalui penaklukan moral dan intelektual yang dimiliki tertindas. 

Setiap upaya untuk "melunakkan" kekuatan penindas dengan menghormati kelemahan yang tertindas hampir selalu memanifestasikan dirinya dalam bentuk kemurahan hati palsu. Kemurahan hati ini dilakukan oleh sekolah untuk menarik simpati yang kemudian diigunakan untuk melanggengkan ketidakadilan. 

Kasih palsu membatasi mereka yang takut dan pendiam, yang "menolak kehidupan", untuk mengulurkan tangan gemetar mereka. Kemurahan hati yang sejati terletak pada upaya agar tangan-tangan ini --- apakah itu individu atau seluruh bangsa --- perlu semakin sedikit diulurkan dalam permohonan sehingga semakin banyak mereka menjadi tangan manusia yang bekerja dan, bekerja, mengubah dunia. Hal inilah yang sedang terjadi di dalam pendidikan di Indonesia, terutama pada saat pandemi seperti ini dituntut penguasaan teknologi dan aplikasi.

Selain pembahasan dari Paulo Freire, pendidikan di era pandemi juga akan menarik jika dibahas dalam perspektif Ivan Illich. Bukunya yang berjudul Deschooling Society akan relevan dengan pembahasan permasalahan pendidikan di era pandemi. 

Pandemi memaksa peserta didik untuk belajar secara mandiri, dengan metode dari guru yang hanya menjelaskan materi kemudian memberikan tugas yang menjadi beban peserta didik. Dalam konteks ini, penjelasan pemikiran Ivan Illich akan membahas peran guru dalam pendidikan di era pandemi covid-19. 

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kendala yang dihadapi saat pandemi adalah sulitnya mengkonstruksi pemahaman peserta didik dalam pembelajaran. Sekolah, pada dasarnya, cenderung menuntut waktu dan tenaga para pesertanya. Hal ini, pada gilirannya, membuat guru menjadi penjaga, pengkhotbah, dan terapis. 

Dalam masing-masing dari ketiga peran ini, guru mendasarkan otoritasnya pada klaim yang berbeda. Guru sebagai penjaga bertindak sebagai pembawa acara, yang membimbing murid-muridnya melalui ritual labirin yang berlarutlarut. Dia mengatur ketaatan pada aturan dan mengelola rubrik yang rumit. 

Dalam kondisi terbaiknya, dia menyiapkan panggung untuk memperoleh beberapa keterampilan seperti yang selalu dimiliki kepala sekolah. Tanpa ilusi untuk menghasilkan pembelajaran yang mendalam, dia melatih murid-muridnya dalam beberapa rutinitas dasar. Guru sebagai moralis menggantikan orang tua, Tuhan, atau negara. Dia mengindoktrinasi murid tentang apa yang benar atau salah, tidak hanya di sekolah tetapi juga di masyarakat pada umumnya. Dia berdiri dengan demikian memastikan bahwa semua merasa diri mereka anak-anak dari keadaan yang sama. Begitulah peran pendidik dinarasikan pada masa pandemi Covid-19. 

Guru sebagai terapis merasa berwenang untuk menyelidiki kehidupan pribadi muridnya untuk membantunya tumbuh sebagai pribadi. Ketika fungsi ini dijalankan oleh seorang penjaga dan pengkhotbah, biasanya itu berarti bahwa dia membujuk murid untuk tunduk pada penjinakan visinya tentang kebenaran dan perasaannya tentang apa yang benar. Begitulah peran guru dalam pendidikan di era pandemi dapat dinarasikan, melalui pemikiran Ivan Illich.

Kedua tokoh tersebut membantu kita untuk menganalisis apa yang sedang terjadi di dalam pendidikan di era pandemi. Freire dan Illich berpandangan bahwa sekolah mengekang martabat manusia untuk memperoleh kebebasan. 

Dengan demikian, dalam pendidikan terdapat proses pendidikan gaya bank, hal ini disampaikan oleh Paulo Freire. Dimana pada pendidikan di era pandemi, siswa seperti wadah yang menjadi penyimpanan dan guru sebagai penyimpan. Tidak ada komunikasi antara keduanya. Guru menyampaikan dan membuat simpanan. Tidak ada proses dialog untuk menghargai martabat manusia dan siswa harus tunduk. Ini mendandakan bahwa Pendidikan gaya bank di era pandemi telah menghilangkan ontologis manusia yang otentik. Dalam hal ini Paulo Freire menekankan proses dialog dalam Pendidikan. 

Dialog menumbuhkan kesadaran bagi yang tertindas untuk bebas dari belenggu penindas dan menghargai manusia sebagai makhluk otentik. Kurangnya ruang diskusi di dalam pendidikan membuat peserta didik menjadi objek yang pasif, bahkan mematikan daya kritis peserta didik tersebut. Metode pembelajaran berjalan di masa pandemi berjalan monoton sehingga mendorong peserta didik menjadi apatis dalam pembelajaran dan hanya mementingkan tugas yang diberikan, tanpa memahami materi yang diberikan. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah utama dalam pendidikan di era pandemi.

Dari fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa pendidikan di era pandemi     memproduksi sistem pendidikan gaya bank, dimana guru berperan sebagai penjaga, pengkhotbah, sekaligus terapis. Pendidikan pada saat ini terpaku kepada guru dengan banyaknya pemberian tugas yang dibebankan kepada para peserta didik dan mengabaikan proses dialog menghilangkan hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. 

Pendidikan yang demikian menganggap bahwa peserta didik direduksi menjadi hanya sebagai investasi di masa yang akan datang. Dehumanisasi pendidikan yang terjadi adalah akibat dari kebijakan yang diterapkan oleh pemangku jabatan. Perlu adanya perubahan pola pembelajaran untuk mensinergiskan antara pihak sekolah dengan peserta didik sehingga tidak terjadi penindasan secara terselubung di dalam pendidikan di era pandemi.

Maka dari itu perlu adanya solusi untuk menghadapi permasalahan yang terjadi di era pandemi saat ini. salah Satu solusinya yaitu dengan mengadakan pendidikan yang lebih humanis, dimana pendidikan tersebut memperhatikan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan. 

Dalam hal ini guru harus mengubah sistem pembelajaran daring dengan metode yang melibatkan partisipasi siswa. Selain itu, pemberian tugas bukanlah satu-satunya cara efektif untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dan menjadi patokan penilaian. Metode tersebut dapat diubah tentunya dengan menjadikan keterlibatan siswa dalam proses berdiskusi dalam pelajaran. 

Selain itu, dalam pemikiran Paulo Freire yang relevan saat era pandemic ini,  ia memberikan solusi terkait dehumanisasi pendidikan yang terjadi pada saat pandemi ini dengan mengemukakan pendidikan hadap masalah. Pendidikan hadap masalah membuat siswa menjadi pemikir yang kritis. Pendidikan ini menekankan masa depan revolusioner. 

Pendidikan hadap masalah mengidentifikasikan diri dengan gerakan yang melibatkan orang-orang sebagai makhluk yang sadar akan ketidaksempurnaan mereka. 

Titik berangkat dari gerakan ini terletak pada masyarakat itu sendiri dalam memahami situasi. Pendidikan hadap masalah sebagai praksis humanis berpandangan fundamental bahwa rakyat yang didominasi harus memperjuangkan emansipasi mereka. Untuk itu memungkinkan guru dan siswa menjadi subjek proses pendidikan dengan mengatasi otoritarianisme dan intelektualisme yang mengasingkan. Selain itu, diperlukan pendampingan orang tua peserta didik untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran jarak jauh di era pandemi.

Referensi:

Abdillah, Rijal. 2017. Analisis Teori Dehumanisasi Pendidikan Paulo Freire. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol 2, No. 1.

Apple, Michael W. 2004. Ideology and Curriculum Third Edition. New York: RoutledgeFalmer

Freire, Paulo. 1921. Pedagogy of The Opressed. New York: The Continum International Publishing Group Inc

Hendayana, Yayat. 2020. Tantangan Dunia Pendidikan di Masa Pandemi. Diakses melalui https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/tantangan-dunia-pendidikan-di-masa-pandemi/.

Illich, Ivan. 1971. Deschooling Society. New York: Doubleday & Company

Supriyanto. 2013. Paulo Freire: Biografi Sosial Intelektual Modernisme Pendidikan. Jurnal Al-Ta'dib Vol 6, No. 2.

Zulfatmi. 2013. Reformasi Sekolah (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ivan Illich). Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol XIV No. 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun