Peristiwa demonstrasi pelajar di depan Gedung DPR/MPR pada 25 Agustus 2025 mengguncang kesadaran publik tentang pentingnya pendidikan demokrasi sejak dini. Ratusan pelajar yang masih berseragam sekolah turun ke jalan, sebagian karena ajakan teman, sebagian lain sekadar mengikuti arus informasi di media sosial. Situasi berakhir ricuh, dan 196 pelajar di bawah umur harus diamankan. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya pelajar menggunakan hak berpendapat tanpa terjebak risiko yang membahayakan dirinya maupun orang lain?
Hak berpendapat merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara, termasuk pelajar. Namun, seperti diingatkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, aspirasi generasi muda sebaiknya diarahkan melalui jalur pendidikan formal, bukan melalui aksi massa yang rentan disusupi kepentingan politik. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan, keterlibatan pelajar dalam agenda politik praktis justru dapat mengganggu tumbuh kembang mereka. Pesan yang sama ditegaskan dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 13 Tahun 2025: kebebasan berpendapat harus dijalankan secara aman, santun, dan bertanggung jawab.
Sekolah sebagai Laboratorium Demokrasi
Jika ditilik dari perspektif teori pendidikan demokrasi, sekolah seharusnya berfungsi sebagai miniature society, sebuah laboratorium tempat siswa belajar mengartikulasikan pendapat sekaligus menghargai perbedaan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga membentuk warga negara yang demokratis. Artinya, sekolah tidak cukup hanya menjadi ruang transfer ilmu, tetapi juga arena pengasuhan nilai demokrasi dalam praktik sehari-hari.
Implikasi Kebijakan dan Tantangan ke Depan
Peristiwa 25 Agustus sebaiknya dipahami bukan semata sebagai pelanggaran disiplin pelajar. Lebih jauh, ia menyingkap celah dalam sistem pendidikan demokrasi kita. Ketika sekolah tidak menyediakan ruang aman untuk menyalurkan pendapat, media sosial kerap mengambil alih fungsi tersebut. Sayangnya, ruang digital sering kali lebih rawan provokasi, misinformasi, dan polarisasi. Di sinilah tantangan utama: bagaimana menjadikan sekolah sebagai ruang utama dialog, sehingga pelajar tidak perlu mencari panggung ekspresi di jalanan atau ruang virtual yang tidak terkendali.
Implikasi kebijakan dari peristiwa ini cukup jelas. Pertama, pemerintah perlu memperkuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang berbasis praktik, bukan hanya hafalan. Kedua, guru harus dibekali pelatihan khusus agar mampu mengelola forum diskusi tanpa mematikan kreativitas siswa. Ketiga, sekolah perlu menjalin kolaborasi erat dengan orang tua untuk memastikan anak-anak memahami batas antara kebebasan berpendapat dan keamanan diri. Keempat, literasi digital wajib diprioritaskan, agar pelajar mampu memilah informasi sebelum mengambil sikap.
Refleksi dari kasus ini mengingatkan kita bahwa mendidik demokrasi tidak bisa dibiarkan tumbuh alami. Demokrasi harus dipelajari, dipraktikkan, dan dibimbing sejak dini. Jika tidak, pelajar rentan menjadi korban arus informasi yang menyesatkan atau kepentingan politik jangka pendek. Dengan mendidik mereka untuk berani berbicara, tetapi juga mau mendengar dan menghormati perbedaan, kita sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara demokratis.