Mohon tunggu...
Arie Alfikri
Arie Alfikri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Ustadz Abdul Somad, Ulama Pemersatu Umat

29 Oktober 2017   19:43 Diperbarui: 29 Oktober 2017   19:57 10883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua. Bahasanya sederhana, mudah dipahami. Terlihat UAS selalu memilih bahasa kampung, dan menghindar dari istilah yang sulit dan pelik. Kata-kata yang dipergunakannya akrab di telinga ummat. 

Ketiga, dia membandingkan, bukan mengklaim apa lagi memvonis. Dalam hal ini UAS menyebut pendapat empat imam mazhab. Dengan fikih empat mazhab tersebut materi kajiannya disukai oleh lintas mazhab. Dan jemaah pun tinggal memilih, meski kecendrungan beliau ke mazhab Syafii tak beliau sembunyikan. 

Keempat, UAS pandai menggunakan kekuatan medsos untuk sosialisasi ceramah-ceramahnya terutama lewat Youtube dan Facebook. Bahkan konon beliau punya tim media yang kuat sehingga materi-materi dakwahnya diketahui umat jauh sampai ke penjuru nusantara. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Senada dengan Ustadz Ibnu Aqil, Dosen STAIN Bukittingi, Irwandi Nashir menyampaikan bahwa dakwah UAS menyerupai dakwah Buya Hamka yang sejak dulu sudah memperkenalkan model perbandingan Mazhab dalam menimbang perbedaan pendapat. Irwandi menambahkan kebanyakan para da'i yang berguru di Timur Tengah, biasanya membawa corak berpikir gurunya setelah pulang ke tanah air. 

Sementara itu Intelektual Muslim Alumni Manchester University, Muhammad Elvandi mengomentari kepopuleran kajian UAS lewat media sosial. Ia mengatakan menuntut ilmu agama itu perlu ada guru. Walaupun kita mampu membaca sendiri ratusan ribu buku dan dalil namun tetap perlu pengarah dan penjelas. "Dalam sebuah hikmah disebutkan siapa yang tidak punya guru, maka setanlah gurunya," tegasnya. 

Elvandi menambahkan tidak semua orang mempunyai akses mempelajari ilmu agama di pesantren, Universitas islam ataupun cara tradisional talaqqi dengan Syaikh. Lalu bagaimana berguru? "Media sosial adalah salah satu perangkat dalam belajar, kajian satu jam di depan ustadz di sebuah mesjid hampir sama dengan rekaman visual satu jam yang anda tonton di youtube. Tidak perlu terlalu sinis dengan pengajian melalui medsos dan perangkat virtual karena ia adalah bagian dari manhaj dakwah Qur'an. Billatii hiya ahsan (dengan cara lebih baik)," ujarnya. 


Elvandi menegaskan bukan sarana masalahnya, tapi kredibilitas konten yang disajikan dalam sarana tersebut. Mengenai kredibilitas, parameter paling mudah adalah latar belakang akademis pemateri. Tapi pada akhirnya, background akademis hanyalah pembuka, selanjutnya yang menentukan adalah kualitas ilmu, dalil, relevansi dengan realitas, dan seterusnya. 

"Secara pribadi saya tidak mengenal Abdul Somad, tidak ada kepentingan melainkan kecintaan pada pewaris para nabi. Dalam pengamatan saya, UAS sangat mumpuni sebagai ulama di Indonesia. UAS memiliki penguasaan terhadap sumber-sumber utama yakni Qur'an dan Hadits, serta ia mutqin (profesional) dalam penyampaian," katanya. 

"Inilah ulama yang kita butuhkan. Abdul Somad bukan hanya populer, tapi juga Alim Ahlus Sunnah," pungkas Elvandi yang juga alumni Universitas Al-Azhar Mesir. 

Pengakuan terhadap sosok UAS juga datang dari tokoh nasional. Menpora Imam Nahrawi mengaku menyukai dakwah UAS. Ia sering menonton ceramah UAS lewat youtube sebelum tidur. Tokoh Reformasi Amien Rais ketika berjumpa dengan UAS di Yokyakarta pekan lalu, menyampaikan hal yang senada. "Ya, saya selalu lihat video antum. Saya senang. Lanjutkan," ujar Amien Rais.  Namun Amien Rais tak lupa memberikan nasihatnya. "Manusia itu dirusak oleh hawa nafsunya, dunia dan setan. Maka hati-hati. Dulu ulama mengetuk pintu langit, sekarang juga mengetuk pintu penguasa. Sulit untuk mengetuk kalau tangan sudah berisi dolar dan materi. Antum lebih tahu itu," pungkasnya. 

Penulis sendiri melihat fenomena UAS sebagai kecendrungan perubahan "selera" masyarakat terhadap materi dakwah. Umat ingin pengajiaan tak lagi sekedar retorika, lelucon, dan hiburan. Umat sekarang lebih butuh pemahaman yang makin mendalam berlandaskan ilmu-ilmu syar'i. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun