Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.780 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 24-04-2024 dengan 2.172 highlight, 17 headline, dan 106.868 poin. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebaikan Hati di Gerbong Kereta Api (Sebuah Kisah di Masa Lalu)

28 September 2020   17:45 Diperbarui: 28 September 2020   18:23 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Porter di Stasiun Pasar Senen Jakarta - www.tribunnews.com

"Ah, bodohnya aku, mengapa dari tadi terus mengeluh dalam hati. Aku memang sendirian tapi tidak sungguh-sungguh sendirian. Dimanakah percayaku pada Tuhan? Bukankah Tuhan sudah menolong mengingatkan pak Amad menjemputku pagi ini, aku yakin Tuhan akan tolong aku juga sekarang." Lalu Tia kembali berdoa dalam hatinya dan menantikan pertolongan Tuhan.

"Aku rasa aku harus masuk ke dalam stasiun dan mencari bapak pengangkut barang. Tak apalah kutinggalkan barang-barangku sementara di sini. Semoga tidak hilang. Aku serahkan pada tangan Tuhan saja." 

Tia segera masuk ke dalam stasiun dan berusaha mencari bapak pengangkut barang tapi tidak seorangpun dari mereka yang kelihatan. Wah benar-benar tidak beruntung. Dengan langkah lemas, Tia kembali ke barang-barangnya di luar. Ingin rasanya hati terus mengeluh namun Tia menyemangati diri untuk terus bersyukur dalam keadaan apapun. 

"Tuhan tolong aku untuk tidak mengeluh lagi dan biarkan aku bisa bersyukur dengan keadaan ini. Amin." Seorang bapak keluar dari dalam stasiun memikul barang yang sangat besar. Tia tersenyum senang dan segera memanggil bapak tersebut untuk membantunya setelah tugas pertamanya selesai. 

Bapak tersebut segera membantu Tia membawa barang-barangnya dan Tia pun minta tolong sampai nanti dibawakan ke atas kereta api. Nama bapak itu adalah pak Karso. Tia bersyukur pada Tuhan yang telah menolongnya dengan mengirim pak Karso untuk membantunya di saat yang tepat.

Kereta api yang akan mengantar Tia sampai ke rumah, belum datang juga. Tia mulai membaca bukunya sambil menunggu. Orang-orang yang ada di sekitar Tia hampir semuanya merokok. Rasanya ingin marah lagi. Tia rasanya ingin menegur orang-orang tersebut namun tidak mungkin juga karena itu di tempat umum dan tidak ada larangan untuk merokok. 

Ada saja hal yang membuatnya ingin kembali mengeluh namun Tia kembali berusaha mengucap syukur dan berdoa agar Tuhan menolongnya tidak mengeluh lagi. Akhirnya kereta api yang dinantikan pun datang. Tia melihat pak Karso buru-buru menghampirinya dan menolongnya membawa barang-barangnya sambil sedikit memberi nasehat padanya agar berhati-hati sepanjang perjalanan. 

Dalam hati Tia ingin ketawa juga, tak seorang pun teman dekatnya mengatakan itu padanya namun seorang bapak pengangkut barang yang baru dikenalnya menunjukan perhatian kecil padanya. "Terimakasih Tuhan untuk pak Karso yang sudah mau peduli padaku." Kembali Tia bersyukur dalam hatinya. 

"Terimakasih Pak Karso karena telah membantu saya dan atas nasehatnya." Tia mengulurkan uang selembar 20 ribuan. Pak Karso menatap uang tersebut dengan rasa sangat berterimakasih. Mungkin tidak biasanya orang mengupahnya sedemikian besar. Pak Karso mengakhiri pertemuan tersebut dengan mengatakan terimakasih dan selamat jalan kepada Tia.

Kereta api pun segera berjalan. Penuh sesak dengan penumpang karena masih masa-masa liburan. Pantas saja seramai ini, pikir Tia. "Terimakasih Tuhan atas pertolonganMu sampai aku ada di kereta api ini dengan barang-barangku yang banyak." 

Tia kembali membaca bukunya meskipun kadang terhenti karena kantuk menyerangnya berulang kali. Tia membaca tentang kisah seorang anak yang suka mengeluh dan mempermalukan diri sendiri karena sifatnya itu namun kemudian melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya, anak tersebut tidak lagi menjadi orang yang suka mengeluh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun