Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketika Hari Keluarga Nasional, Ayah Berhenti Merokok

29 Juni 2022   15:18 Diperbarui: 30 Juni 2022   14:45 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berhenti merokok. (Sumber: freepik via kompas.com)

Setiap tanggal 29 Juni kita memperingati sebagai Hari Keluarga Nasional atau disebut juga dengan Harganas. 

Pada tahun ini, tema yang diangkat masih seperti tahun lalu, yakni seputar pencegahan stunting 'Ayo Cegah Stunting Agar Keluarga Bebas Stunting'.

Pada Harganas ini saya memiliki harapan dan semoga pembaca budiman sekalian juga turut mengaminkan. Saya berharap paling tidak ada satu ayah yang terketuk hatinya untuk mulai berhenti merokok.

Timbul kesadaran bahwa dengan merokok akan menjadikan keluarganya terutama anaknya, lebih-lebih jika masih bayi dan balita, sebagai perokok pasif yang menimbulkan berbagai dampak kesehatan pada waktu kemudian.

Setiap saya berjaga di poli MTBS atau Manajemen Terpadu Balita Sakit, yakni sebuah poli di Puskesmas untuk anak 0-5 tahun, saya hampir selalu menemui ibu yang membawa anaknya dengan batuk pilek yang mana gejala tersebut ialah merupakan gejala dari infeksi saluran pernafasan atas.

Dan jika lebih parah lagi akan sampai ke saluran pernafasan bawah (paru-paru) yang biasanya akan menimbulkan gejala seperti nafas yang cepat dan adanya tarikan dinding dada yang bisa kita lihat maka akan disebut infeksi saluran pernafasan bawah seperti pneumonia. 

Jika saya tanyai ibu pasien apakah ada yang merokok di dalam rumah, hampir 90% kiranya dari seluruh pasien anak 0-5 tahun yang datang ke poli MTBS saya, dikatakan bahwa ayahnya merokok baik di dalam rumah dan/atau di luar rumah. 

Setiap kali mendengarkan pengakuan tersebut, saya selalu melanjutkan percakapan dengan sebuah pertanyaan ultimatum kepada ibu pasien, "Ini ayahnya ikut bu?". 

Rata-rata akan menjawab ayahnya tidak ikut karena sedang bekerja atau sedang bersantai di rumah. Tentu saja jika ayahnya tak ikut saya langsung meminta para ibu untuk menelepon suami-suami mereka agar saya dapat mengedukasi secara langsung. 

Jika ayahnya kebetulan ikut, maka tentu akan langsung saya sikat di tempat. Eh saya hanya bercanda, saya tetap mengedukasi secara pelan. Walau hati rasanya sudah tak karuan.

Biasanya, setiap saya selesai mengedukasi para ayah baik melalui Whatsapp Call ataupun melalui tatap muka, para ibu akan selalu mengeluarkan unek-unek di akhir edukasi saya, yang saya coba maknai sebagai bentuk menyerah para ibu atas keadaan komunikasi intra rumah tangga.

"Tuh dok bilangin, sudah saya bilang kalau merokok jangan di dalam rumah, di luar rumah saja, atau justru jangan merokok sama sekali, dan kalau pegang anak cuci tangan dulu. Kasih tau dok.." Saya tersenyum simpul.  

Saya turut merasakan tensi yang tinggi dan atmosfir panas yang diciptakan kedua pasangan di dalam ruangan. 

Tapi tentu dengan atmosfir yang panas yang tak akan membuat kita menjadi berkepala dingin, edukasi sebanyak apapun yang saya berikan tak akan masuk ke kepala si kepala keluarga. Saya kembali mencoba mengedukasi secara perlahan.

Saya menjelaskan bahwa anak-anak berbeda dengan dewasa. Saat dekat dengan asap rokok, anak tidak dapat memerintahkan dirinya untuk sejenak menutup hidung atau menahan napas agar tak terhirup si asap rokok. 

Sehingga akhirnya asap rokok akan masuk ke saluran nafas anak-anak yang masih belum matang sistem pertahanannya. 

Dengan kekebalan yang masih seadanya, begitu mudah berbagai mikroba ikut menempel, lalu menjadi infeksi saluran nafas. Tak jarang ujung-ujungnya turut hadir infeksi saluran pencernaan. Ibu akan datang dengan anak yang dikeluhkan batuk, pilek, diare, dan muntah. 

Ayah terus merokok... dan infeksi akan terus berulang. Padahal, infeksi (infeksi saluran nafas, infeksi saluran pencernaan) merupakan salah satu faktor penyebab dari stunting. 

Mengapa? Karena infeksi dapat menyebabkan penurunan food intake dari anak, menghambat penyerapan nutrisi dari makanan, menyebabkan kehilangan nutrisi secara langsung, meningkatkan keperluan metabolik, meningkatkan kehilangan katabolik, dan merusak transportasi makanan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan.

Jika para ayah tidak tergerak untuk berhenti merokok setelah disosialisasikan adanya tulisan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat kerjanya.

Lalu, masih tak tergerak untuk berhenti merokok setelah sudah mengetahui istrinya batuk-batuk lama dan didiagnosis dengan bronkitis kronis karena menjadi perokok pasif untuk sekian lama.

Jika masih tak tergerak untuk berhenti merokok saat sudah menyadari bahwa ia tak memiliki tabungan karena harus membeli 3-4 bungkus rokok per harinya, tak tergerak untuk berhenti merokok saat sudah begitu menyadari bahwa rokok telah merusak jaringan-jaringan gusi dan giginya.

Kalau masih tak tergerak untuk berhenti merokok bahkan saat ia sendiri sudah disarankan dokter untuk mengurangi rokok karena ia mulai sesak saat bernafas dan keluar masuk rumah sakit untuk penyakit paru obstruktif kronisnya.. 

Bolehkah hati seorang ayah tergerak saat melihat anaknya yang sudah terkujur lemas badannya, batuk pilek hingga sesak karena kebiasaan merokoknya, haruskah menunggu sampai anaknya sudah tak bernyawa?

Lewat tulisan ini penulis begitu berharap, terlebih saat tulisan ini dihadirkan pada momentum Hari Keluarga Nasional, seluruh masyarakat Indonesia dapat memaknai hari ini bukan sekedar selebrasi semata.

Namun sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran bahwa pencegahan stunting dalam hal ini pencegahan infeksi sebagai salah satu faktor dari stunting tidak hanya tugas seorang ibu belaka namun pencegahan stunting adalah tugas bersama. 

Jika dengan berbagai alasan dan situasi apapun yang telah membuat seorang ayah tak gentar untuk menghentikan kebiasaan merokoknya, sekali lagi, tak bisakah seorang ayah menjadikan kesehatan dan kesejahteraan anak sebagai alasannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun