Mohon tunggu...
fatma ariana
fatma ariana Mohon Tunggu... -

hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bapak dan Demensia Vaskuler (Part III-End)

23 November 2015   14:46 Diperbarui: 23 November 2015   15:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah bapak terkena demensia, kehidupan kami tak lagi sama seperti dulu. Ibu dan bapak yang sakit dalam waktu hampir bersamaan membuat kami akrab dengan ruang tunggu di praktek dokter dan rumah sakit. Selain sebagian ingatan yang menghilang, sebenarnya semua baik-baik saja. Sampai kemudian kondisi ibu memburuk dan kemudian meninggal dunia pada 12 September 2014. Tentang penyakit ibu, akan saya ceritakan pada bab tersendiri.Siapakah yang paling terpukul dengan kepergian ibu? Tak lain adalah bapak.

Bapak saya adalah tipe suami yang apa-apa harus disiapkan dan dilayani penuh oleh istrinya. Saya dan kakak-kakak saya menjadi saksi bahwa bakti ibu kepada bapak sangat luar biasa, makanya ketika ibu sakit, bapak sangat down karena dalam keseharian bapak sangat tergantung pada ibu, bapaklah yang paling terkena dampak dengan sakitnya ibu meski itu tak pernah diungkapkan kepada kami anak-anaknya. Di hari pertama saya masuk kerja setelah masa berkabung usai, teman-teman kantor selalu selalu menanyakan kondisi bapak, mereka yang datang takziyah pemakaman ibu pasti tahu, bapaklah yang paling histeris saat itu..

Dua bulan berlalu setelah pemakaman ibu, kehidupan mulai normal kembali sampai ketika setelah maghrib di awal november, mbak saya kembali menelpon mengabarkan kondisi darurat (lagi). Jujur, setelah ibu dan bapak sakit, dering telepon adalah suara yang menakutkan bagi saya, terutama jika saya tau yang menelpon adalah mbak saya di Ngawi, saya trauma ada berita buruk lagi tentang orang tua saya.

Mbak Ida mengabarkan bahwa bapak terkena stroke lagi, pingsan saat sholat maghrib berjamaah di Masjid Agung Ngawi. Teman-temannya sesama jamaah lah yang mengantarkan bapak ke rumah sakit. Hari-hari di rumah sakit setelah itu adalah hari-hari yang berat. Bapak yang sebelumnya kondisi fisiknya baik-baik saja (kecuali otak), sulit menerima kenyataan bahwa separuh tubuhnya yang bagian kanan kini lumpuh. Ya inilah stroke yang biasa kami kenal, lumpuh tubuh sebagian ato keseluruhan, sesuatu yang kami takutkan akhirnya menimpa juga pada bapak.

Bapak tak betah jika harus tiduran, padahal dokter memerintahkan untuk tak banyak bergerak. Bapak juga sering marah dan berteriak karena beliau sekarang sulit untuk bergerak dan jika berbicara sama sekali tak jelas dan sering kami salah artikan. Bapak juga memilih untuk dilayani mas wawan, kakak pertama saya, entahlah bapak sepertinya malu jika kami anak-anak perempuannya yang membantunya buang air kecil atau besar. Tiap hari mas wawan yang tinggal jauh di desa harus datang ke rumah untuk merawat bapak.

Sedikit demi sedikit bapak mulai tenang, tak lagi marah-marah dan berteriak. Saya banyak mencari referensi di internet bagaimana menghadapi lansia yang menderita stroke. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, anggota keluarga yang lain yang sehat tak boleh diabaikan kondisi emosinya, berbagai referensi itu bisa membantu kami memahami kondisi bapak dan berdamai dengan keadaan. Suami saya selalu mengingatkan agar saya bisa menerima semua situasi yang berat ini dengan lapang dada dan jangan sampai dipikir terlalu mendalam.

Sampai dengan saya menuliskan kisah ini (25 Maret 2015), kondisi bapak kini jauh lebih baik baik secara mental maupun fisik. Bapak jauh lebih tenang, menghabiskan hari-hari dengan lebih banyak tidur dan mendengarkan radio berisi ceramah agama dan lagu-lagu campursari, alhamdulillah sholat 5 waktu masih dijalankan meski sekarang tak bisa lagi berjamaah di masjid.

Soal fisik, bapak kini bisa berjalan nyaris seperti orang normal meski kaki kanannya masih agak diseret, tangan masih agak berat dan bicara masih belum jelas tapi sudah jauh lebih baik dibanding pertama kali sakit dulu. Kursi roda yang saya belikan hanya mau dipakai seminggu, selebihnya bapak memaksa untuk berjalan.

Terapis yang kami datangkan ke rumah seminggu sekali, juga perawat yang biasa menangani bapak di rumah sakit ketika kontrol sangat heran dengan perkembangan bapak yang begitu cepat. Semangatnya untuk sembuh mengalahkan segalanya. Sekarang, sebulan sekali di Jumat sore, bapak diantar kakak-kakak dan keponakan-keponakan saya datang ke Magetan, untuk menjemput saya dan Fahri untuk diajak ke Ngawi. Mbak ida selalu mengingatkan, "Sekarang orangtua kita tinggal satu, marilah kita rawat sebaik-baiknya." Doa saya selalu untuk bapak semoga sehat selalu dan Allah melindungimu selalu. Aamiin..Ya Rabb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun