Langit di atas bentangan sawah tempat kami mengolah kehidupan begitu biru dengan sedikit awan putih yang berarak pelan ke utara.
Ada petak-petak bera penuh rerumputan dan gulma kering kekurangan air. Ada bentangan dengan lombok, sawi, bayam, dan kenikir yang dibiarkan menua tanpa dipanen karena harga jatuh tersungkur.
Ada petak-petak tomat yang mulai terbengkalai entah kapan dipetik. Menunggu harga kembali ke batas harga setidaknya sesuai modal keluar.
Di hamparan lain, tanaman jagung menguasai lahan-lahan petani yang bekerja sama dengan perusahaan pengembangan hortikultura. Ada yang masih semi bunganya. Ada pula yang bonggolnya sudah mulai gendut berisi.
Tak sedikit juga yang harus dibabat karena bonggolnya sudah terbuka akibat pesta pora para tikus di malam hari yang dengan rakus menyantap bonggol-bonggol muda.Â
Di hamparan lain, ada juga canda tawa wajah-wajah ceria di bawah terik mentari dari pagi hingga siang hari. Mereka gembira panen raya kali ini menambah pundi-pundi simpanan mereka.
Bukan hanya pemilik lahan dan perusahaan yang mendanai penanaman jagung yang begitu gembira. Buruh tani yang mengolah sawah, buruh petik, buruh angkut, dan waker pengatur irigasi juga ikut bergembira. Mereka akan mendapat rejeki tambahan karena harga jagung sedang naik tangga.
Suatu yang membanggakan dan patut dibanggakan, lahan seukuran 40 x 100 m saja dalam semusim bisa menyedot antara 10 - 20 tenaga kerja.Â
Para petani menciptakan lapangan kerja.Â
Di sudut lain, beberapa petani berdiri terpaku melihat hamparan padinya banyak yang ompong karena serbuan pipit tiada ampun.
September kelabu? Entahlah. Di tengah perputaran hidup yang terus berubah yang kadang sulit diperkirakan toh semua harus dijalani.
Mahalnya harga pupuk non subsidi di atas upah buruh tani adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.
Gempita berita demo memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan terdengar sayu lembut di antara pembicaraan para petani muda.
"Jauh di sini kita mendengar. Apa mereka yang dekat dan didemo mendengar?" Seloroh seorang petani muda dari Kulonprogo yang merantau ke Malang sebagai petani bawang merah.
Suara yang tak pernah terdengar. Dan tak pernah didengar.
Hidup harus dijalani dan dinikmati. Apa pun yang terjadi. Bertani harus dilakoni demi sesuap nasi. Walau seperti berjudi yang untung-untungan.
Pepatah Jawa mengatakan: Ora obah ora mamah. Artinya tidak bekerja tidak akan makan.
Bekerja dan berkarya bukan hanya untuk diri sendiri. Juga untuk mereka yang disebut buruh tani. Ikut menyejahterakan bangsa.
Semangat kebangsaan mereka terus berkobar seperti kibaran bendera merah putih yang dipasang di sebelah gubuk-gubuk mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI