Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tantangan AHY Menuju 2024

22 Februari 2021   08:22 Diperbarui: 22 Februari 2021   08:45 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kenyamanan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) terusik ketika dirinya mengungkapkan adanya dugaan gerakan politik yang ingin mengambil alih kekuasaan PD secara paksa dari tangannya. Tak tanggung-tanggung disebut ada orang lingkaran istana yang berada di balik upaya pengambilalihan kekuasaan PD. Orang lingkaran istana itu konon dibantu oleh anggota PD yang masih aktif maupun tidak aktif yang disebabkan mengundurkan diri, keluar, dan dipecat.

Sebagai partai tengah, PD dengan raihan suara pada Pemilu 2019 sebesar 10.876.057 (7,77 persen), diakumulasi dalam bentuk 54 kursi di DPR, membuat partai yang dilahirkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu memiliki posisi yang penting dalam perpolitikan nasional di Indonesia. Posisi yang demikian membuat kekuasaan yang dibangun oleh Joko Widodo meski sudah disokong oleh partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dan PKB, namun masih terasa hambar ketika belum didukung oleh PD.

Pemerintah butuh PD tidak hanya karena jumlah kursi yang signifikans ketika dilakukan voting di DPR atau pengambilan keputusan suara berdasarkan mayoritas kekuatan partai politik, namun juga karena figur SBY. SBY sebagai mantan Presiden dan tokoh yang disegani di Indonesia membuat keberadaannya masih dibutuhkan dan didengar oleh rakyat maupun pemerintah.

Selama pemerintahan bergulir dari tahun 2014 hingga saat ini (2021), ketika kekuasaan dipegang oleh Joko Widodo, partai berwarna biru ini cenderung mengambil jalan tengah. Dia secara tegas tidak menyatakan oposisi tetapi juga tidak bergabung dalam kekuasaan yang ada. 

Entah mengapa PD dalam mengambil sikap terlalu berhati-hati sehingga kritik yang dilontarkan kepada kekuasaan selama ini tidak keras-keras amat. Hal demikian bisa jadi karena terpengaruh oleh sikap dan watak SBY yang selalu berhati-hati dalam bertindak. Bahkan dalam Pilpres di tahun 2014 dan 2019, PD menentukan pilihannya, mendukung, Prabowo Subianto, di menit-menit terakhir, dan terlihat ogah-ogahan ketika membantu pemenangan Prabowo Subianto.

Selama ini kalau kita lihat aktivitas PD terlihat adem ayem saja. AHY, sebagai Ketua Umum PD, saat-saat ini terlihat lebih cenderung sibuk membangun citra diri. Ia lebih suka pidato sana-sini, mengucapkan selamat kepada ormas-ormas yang berulang tahun, membuat video tik tok bersama anak dan istrinya, serta kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial semata untuk PD. Apa yang dilakukan itu bisa jadi untuk kepentingan politik di tahun 2024, Pilpres. Sementara urusan politik praktis dilimpahkan kepada anggota-anggotanya yang duduk di DPR.

AHY pede membangun citra dirinya sebab dilihat posisinya partainya saat ini terlihat sangat menentukan. Pengaruh ayahnya, SBY, juga bisa terbilang mampu mendongkrak popularitasnya. Bila dilihat dan dibandingkan dengan partai yang lain, PD lebih maju dalam soal Pilpres. Partai ini sudah memiliki calon yang hendak diusung dalam Pilpres, yakni AHY, meski kelak pada posisi cawapres. 

Sementara partai-partai yang lain, seperti Golkar belum memiliki figur yang bisa disodorkan dalam Pilpres. Padahal partai berlambang pohon beringin itu partai besar. Nasdem yang terbilang partai besar pun saat ini juga wira-wiri mencari sosok capres yang bisa dimajukan dalam Pilpres. Nasdem bukan mencari kadernya sendiri namun mencari orang lain yang mempunyai elektabilitas dan popularitas yang tinggi, setelah sukses menggaet Ridwan Kamil, Nasdem pernah juga mendekati Anies Baswedan.

Namun perjalanan AHY menuju ke 2024 masih penuh tantangan. Tantangan yang ada seperti, pertama, dari waktu ke waktu semakin banyak muncul sosok yang mencuri perhatian rakyat. Mereka entah secara alami atau by design hadir atau dihadirkan. 

Ada sosok yang gara-gara dekat dengan rakyat, sukses membangun kota dan transportasinya, menemui pemulung, mampu menghijaukan zona pandemic, atau hal-hal yang sifatnya kerakyatan, langsung menjadi viral. Mereka mayoritas atau kebanyakan adalah para eksekutif baik yang berada di pusat maupun daerah.

Dengan kekuasaan yang dimiliki, sebagai kepala daerah atau menteri, sosok-sosok itu menggunakan sarana-sarana yang ada untuk mencitrakan diri sebagai orang yang membela rakyat dan menjanjikan kemajuan bagi daerah, bangsa, dan negara. Lihat saja banyak kepala daerah atau menteri blusukan ke tengah masyarakat. 

Bermanfaat atau tidak yang penting mereka blusukan agar rakyat tahu dirinya. Nah, saluran yang demikian tidak dimiliki oleh AHY. Bila kepala daerah atau menteri blusukan, kapasitasnya bisa dikatakan pada posisi netral atau sebagai pemerintah yang hendak membagikan kesejahteraan namun bila AHY blusukan, pasti orang mengatakan ia orang PD. Dalam posisi yang demikian pasti ada masyarakat yang curiga bahkan menolak kehadirannya.

Memiliki kekuasaan memang sarana yang efektif untuk mendongkrak elektabilitas. Mereka yang menjadi kepala daerah bahkan Presiden, berasal dari kalangan yang memiliki kekuasaan. SBY menjadi Presiden setelah dirinya menjadi menteri. Joko Widodo menjadi Presiden setelah, ia menjadi kepala daerah, baik di Solo maupun Jakarta. Dan banyak kepala daerah yang berasal dari menteri, anggota DPR, maupun kalangan TNI.

Bila tak mempunyai kekuasaan sepertinya sulit untuk meraih prestasti politik yang tinggi. Saat menjabat sebagai Ketua MK, Mahfud MD memiliki elektabilitas sebagai capres yang tinggi namun begitu selesai menjabat, elektabilitasnya turun drastis bahkan tak ada partai yang melirik. Inilah yang menjadi tantangan bagi AHY dalam menuju ke 2024. Prabowo dan Sandiaga Uno melihat hal yang demikian, sehingga dia rela menjadi menteri.

Kedua, terpilihnya AHY menjadi Ketua Umum PD, kalau kita amati juga tak alamiah. Peran bapaknya, SBY, mempunyai andil besar. Sebagai politisi, sebenarnya AHY melalui jalan pintas, yakni tiba-tiba langsung menjadi ketua umum. Tak melalui kaderisasi partai yang ada. Proses demikian tentu membuatnya tidak langsung matang. Berbeda dengan sosok yang merintis kariernya dari bawah sehingga berbagai pengalaman, makan asam dan garam, sudah dilalui sehingga ketika ada dinamika atau konflik maka ia bisa mengelola masalah itu dengan baik.

Mengurus partai politik itu tak mudah. Jangankan partai politik, kepengurusan di tingkat yang bawah saja kerap terjadi kudeta. Di kepengurusan organisasi mahasiswa dan pemuda saja sering terjadi peralihan kepemimpinan secara tak wajar dan tak sah.

Di dalam partai politik banyak orang yang mempunyai kepentingan dan ambisi. Sementara dari luar, kekuasaan ditambah dengan kawan dan lawan, ingin memanfaatkan partai politik itu. Dari sinilah perlu sosok yang kuat dan mampu mengelola partai dengan baik. Bila di tubuh partai terjadi konflik, biasanya di sana ada unsur-unsur dari dalam dan luar yang mempunyai kepentingan dan ingin merebutnya. 

Bila ada sosok yang kuat dan mampu mengelola partai dengan baik maka goncangan atau konflik internal yang terjadi bisa cepat teratasi. Meski SBY tak lagi sebagai orang nomer satu di partai itu namun pengaruhnya masih kuat. Nah sekarang seberapa kuat pengaruh SBY ketika anaknya menghadapi ancaman dari luar dan dalam yang ingin merongrong PD. Bahkan rongrongan itu merupakan kekuatan besar yang tak bisa diabaikan.

Ketiga, tantangan merawat partai politik, juga dipengaruhi oleh kekuasaan yang ada. Ada kekuasaan yang demokratis yang membiarkan kekuatan-kekuatan sipil tumbuh berkembang. Namun ada pula kekuasaan yang otoriter yang tidak ingin ada kekuatan-kekuatan lain tumbuh. Untuk itu semua kekuatan di luar kekuasan yang ada diminimalisir dengan cara dipaksa untuk masuk dalam kekuasaan agar keberadaan mereka bisa dikendalikan.

Partai politik yang membangkang akan dipecah belah, dikriminalisasi, ketua umumnya disangkakan korupsi, dan diakui kepemimpinannnya yang mau tunduk dan nurut pada kekuasaan. Hal demikian banyak dialami oleh partai-partai politik yang ada sekarang. Menghadapi yang demikian biasanya partai politik memilih jalan aman dengan cara bergabung dengan kekuasaan atau lembut dalam bersikap kepada pemerintah. Bila tidak maka partai politik itu akan diacak-acak oleh kekuasaan yang ada.

Nah sekarang sejauh mana AHY dalam membawa PD ketika berhubungan dengan kekuasaan. Ini menjadi tantangan bagi dirinya. Terus membela rakyat atau tunduk pada kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun