Beban dipundaknya, terutama dari parpol dan atau ormas yang mengusung, bisa mengakibatkan sang menteri menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Ia melakukan penyimpangan kekuasaan lebih banyak karena tuntutan dari parpol dan ormas yang mendukungnya. Tekanan yang kuat dari parpol dan atau ormas di belakangnya membuat dirinya tak bisa menolak 'proposal' yang diajukan.
Parpol dan ormas mempunyai kegiatan yang besar dan banyak. Untuk itu mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit. Nah pendanaan itulah bisa didapat dari orang-orang mereka yang berada dalam kekuasaan. Dari sinilah akhirnya banyak menteri terlibat korupsi. Uang yang didapat dari rasuah kalau kita amati tidak dimakan sang menteri namun diberikan kepada parpol dan ormas yang mendukungnya.
Berdasarkan pengalaman pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kita mesti mengingatkan agar korupsi yang dilakukan oleh menteri-menterinya tak terjadi lagi sehingga perlu menyaring kalau ada parpol dan ormas yang ngotot minta jatah menteri. Pun demikian bila parpol dan ormas minta jatah menteri, kemauan mereka perlu dipertanyakan. Mereka ingin mendapat jatah menteri untuk mengabdikan diri untuk Indonesia atau untuk menjadikan utusannya sebagai 'sumber rejeki'. Bila menjadikan sumber rejeki, nah itu sangat merugikan banyak pihak, tidak hanya merugikan rakyat namun juga membuat nama parpol dan ormas pengusung menjadi buruk sebab sebagai penadah uang haram. Bila melakukan korupsi, lalu mereka jadi menteri untuk siapa?