Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

3 Fakta tentang Buku: Prasangka, Investasi, dan Seksi

30 Agustus 2015   13:21 Diperbarui: 30 Agustus 2015   14:43 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - membaca buku (Shutterstock)

Banyak kutipan orang ternama yang isinya puja-puji untuk buku. Misalnya saja Bapak Proklamator kita, Muhammad Hatta, yang rela dipenjara asal ia diperbolehkan membaca buku. Sastrawan ternama Argentina, Jorge Luis Borges, sampai-sampai berimajinasi jika surga adalah tempat yang serupa dengan perpustakaan. Milan Kundera, seorang penulis asal Ceko, bahkan lebih radikal lagi dengan menyebut cara menghancurkan sebuah bangsa adalah dengan menghancurkan buku-buku yang dihasilkan oleh bangsa tersebut.

Benda bernama buku memang mendapat tempat yang begitu terhormat di tengah masyarakat. Bahkan Tuhan pun lebih memilih "menampakkan diri" lewat tulisan di buku, dibanding berbicara langsung di hadapan manusia. Negara dan dunia internasional juga menyediakan satu slot di kalender agar manusia tetap mengingat buku.

Secara pribadi, saya sudah melalui banyak hal dengan buku. Saya pernah kehabisan uang jajan demi membaca atau mencuri dari perpustakaan hanya untuk memiliki buku (hal yang tentu tak pantas ditiru). Dari "hubungan intim" yang berulang kali saya lakukan dengan banyak buku, saya temukan fakta sederhana yang menarik tentang buku. Ini dia:

 

Buku dan Prasangka


Apa yang Anda persepsikan ketika melihat kerabat, rekan dekat atau orang asing sedang membaca buku? Saya sendiri sering mendengar kalimat seperti “ciyee, orang pintar lagi baca buku” atau “hebat juga kamu bisa baca buku” dan pujian yang semacam itu. Pembaca buku sering dilabeli sebagai seorang intelektual atau individu berkepribadian cerdas. Apalagi jika buku-buku yang dibaca—terlepas si pembaca memahami isinya atau tidak—bertemakan kajian “berat” seperti risalah filsafat atau ilmu fisika.

[caption caption="(sumber: socsci.tau.ac.il)"]

[/caption]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Membaca buku memang mudah memberi seseorang citra “cerdas”, “intelek” dan bahkan dianggap bermasa depan cerah! Orang-orang yang membaca buku seakan-akan dianugerahi kemampuan super untuk menaklukkan kata dan kalimat yang tercetak di sana. Hal tersebut memang wajar mengingat pengagung-agungan terhadap buku yang dilakukan oleh masyarakat dan begitu banyaknya ulasan ilmiah yang menyimpulkan secara empiris bahwa membaca buku memiliki manfaat yang tak sedikit.

Lalu, mengapa di judul saya menggunakan kata “prasangka”? Bagi saya tak ada kepastian jika orang yang membaca buku bisa disimpulkan sebagai individu cerdas. Apakah mereka yang gemar membaca teenlit sama kemampuan intelektualnya dengan mereka yang sering "mengunyah" novel bergenre sejarah atau fiksi sains. Dan sebaliknya, apakah mereka yang cuma hobi membaca komik bisa disimpulkan punya sifat kekanak-kanakan dan kurang intelek?

Ada yang menyebut jika kepribadian seseorang bisa terrefleksi dari buku yang dibacanya. Akankah selalu seperti itu? Beberapa orang malah menggunakan buku sebagai “perias” diri yang berfungsi mirip make-up dengan sering-sering terlihat membawa buku berjudul canggih yang padahal hanya dibaca sesekali atau bahkan sama sekali tak pernah dibuka. Saya tidak tahu apakah “prasangka” ini berdampak positif pagi pembaca buku atau malah sebaliknya, namun tetap saja saya setuju, membaca buku adalah cara untuk membuka lebar-lebar jendela pengetahuan dibandingkan, misalnya, hanya menelan informasi instan namun tak mendalam yang berserakan di internet.

Buku Bisa Jadi Investasi?

2 tahun yang lalu, saya menemukan buku bekas berjudul "Sybil" di salah satu sentra penjualan buku bekas di Kota Medan (sayangnya, kini tempat itu sudah direlokasi). Jujur saja, sampul buku itu sama sekali tidak menarik karena usianya yang sudah tua. Kertasnya juga sudah menguning dan berbau apak, maklum, cetakan pertama tahun 1982. Tapi setelah skimming beberapa halaman, ternyata isinya sanggup menggoda dompet saya untuk menganga terbuka.

Buku itu berisi biografi seorang penderita multiple personality disorder atau kepribadian ganda (hingga terpecah ke dalam 16 kepribadian!) yang ditulis oleh Flora Rheta Schreiber dan masuk dalam daftar 1000 buku terbaik dunia versi situs 5000best.com. Buku itu saya tebus dengan mahar Rp 20.000,-. Beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunggah buku tersebut di salah satu situs jual beli online. Saya banderol buku yang diterbitkan PT. Sinar Harapan itu dengan harga Rp 90.000,-. Lapak online itu sempat terlupakan cukup lama, sampai akhirnya kemarin HP saya kedatangan pesan dari orang yang berniat membeli.

Saya akhirnya membuktikan jika buku pun bisa dijadikan sebagai investasi. Bukan apa-apa, saya pernah melihat buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan Ir. Soekarno dijual dengan harga seratus juta rupiah! Di situs jejaring sosial Facebook, saya berteman dengan puluhan penjual buku di banyak daerah. Saya sering melihat sesi lelang buku virtual dengan mata membelalak. Buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, terutama tetralogi Pulau Buru, dan karya cetakan lawas pengarang ternama lainnya, sering dilelang dengan harga yang tergolong fantastis. Mulai dari ratusan hingga jutaan rupiah, selalu saja ada yang berniat membeli, bahkan saling berebut dengan mengajukan harga, yang untuk sekarang, mustahil saya jangkau.

[caption caption="Salah satu novel Pramoedya Ananto Toer, Arus Balik, yang dihargai hingga jutaan rupiah. (sumber: cyberangjalan.blogspot.com)"]

[/caption]

Terlalu sering melihat hal tersebut secara drastis mengubah persepsi saya terhadap buku. Saya tidak lagi melihat halaman-halaman buku sekadar sumber pengetahuan—namun juga investasi yang berpotensi menghasilkan uang. Buku memang bukan emas, valas atau saham yang bisa diolah untuk mendapat keuntungan raksasa, namun kita bisa mendapat provit lebih dari buku karena fungsinya yang tak cuma sarana meneguk pengetahuan yang akan melekat permanen di otak, tapi juga cara sederhana meraup materi yang jumlahnya cukup menggiurkan. Hanya, tetap saja hakikat utama buku adalah untuk dibaca. Orientasi bisnis cumalah prioritas nomor sekian. Tega rasanya, membeli atau menjual buku dengan harga tinggi, tanpa pernah sekali pun mengintip atau menikmati isi yang tertulis di dalamnya. Mengutip kata pembuka surat Al ‘Alaq dalam kitab Al-Quran, “bacalah!”

Buku Fisik vs Buku Elektronik

Jujur saja, sedikit "sakit hati" rasanya ketika melihat status terbaru yang diunggah seorang penjual buku di situs jejaring sosial Facebook. Status itu berisi kritik terhadap buku elektronik yang dianggap tidak “seksi” dibanding buku fisik. 

Saya memang setuju dengan anggapan si pengunggah status jika ada sensasi tersendiri yang didapat dari buku yang "berwujud". Saya suka mencium wangi khas yang menyeruak dari lembar-lembar kertas buku baru, atau merasakan sensasi ketika jari jemari—salah satu anggota tubuh paling sensitif—membuka satu per satu halamannya. Apalagi tak terkira rasanya kebahagiaan melihat koleksi buku yang berbaris rapi di perpustakaan pribadi. Tapi kenapa saya mesti sedikit "sakit hati"? Ini diakibatkan status saya yang masih seorang mahasiswa. Isi saku yang terbatas dan belum memiliki profesi yang menghasilkan banyak uang membuat saya kebanyakan mesti menahan diri untuk tidak mengklik gambar buku berkualitas yang sering dijajakan dengan variasi harga, mulai yang murah meriah hingga yang cenderung kurang ajar. Jarak rumah yang jauh dari perpustakaan umum pun membuat saya tak mungkin setiap saat bersemadi di sana.

Tapi berkat digitalisasi buku yang kemudian dapat dengan mudah diunduh di internet, hobi baca saya akhirnya tak mesti terkendala dana dan jarak. Dengan mudah saya bisa menikmati karya agung milik Pamuk, Nietzsche, Dostoyevsky, Pram, Hugo, Puzo, Orwell dan ratusan penulis besar dunia lainnya hanya dengan mengeklik link perpustakaan digital—hal yang terlalu sulit saya lakukan di dunia nyata. Tercatat, sudah 1.80 GB file e-book yang berhasil saya pulung dari bermacam situs berbagi buku di internet (jika ada yang berminat, bisa hubungi saya).

 [caption caption="Beberapa koleksi buku elektronik saya."]

[/caption]

Memang, membaca buku yang dikonversi dalam bentuk elektronik memiliki banyak kekurangan. Yang paling saya rasakan tentu saja kelelahan pada mata. Dibutuhkan waktu lama di depan layar untuk menghabiskan satu buku, apalagi jika halamannya mencapai ratusan dan ingin diselesaikan dalam waktu satu hari. Baru-baru ini, portal berita CNN Indonesia merilis tiga dampak buruk membaca buku non-fisik. E-book dianggap kurang mampu membuat pembacanya mengingat informasi yang terdapat dalam buku. E-book juga disebut bisa mengganggu jam tidur pembaca. Terakhir, membaca buku di depan layar juga mudah menimbulkan stres dan kelelahan. 

Lantas, mau bagaimana lagi? Buku sudah jadi industri. Lihat saja harga yang dipasang di toko buku ternama di Indonesia. Tak ada alternatif lain kecuali berburu buku bekas atau menikmati karya bajakan yang diunduh di internet. Ironi memang, ketika masyarakat menempatkan buku sebagai benda terhormat dan negara sampai menjadikan satu hari dalam setahun untuk "merayakan" buku, namun akses untuk mendapat buku berkualitas yang diingini hanya dimiliki sebagian orang yang berkantung tebal.

Tapi di sisi lain, akses bebas untuk memperoleh buku yang tersedia di dunia cyber malah berdampak buruk bagi industri buku nasional. Tak bisa dihitung kerugian yang ditanggung penulis dan penerbit ketika buku yang mereka jual ternyata bisa dengan mudah diunduh di internet. Akhirnya, banyak penjual yang mengeluh dan terpaksa menaikkan harga demi menutupi ongkos penerbitan, iklan, distribusi dan lain-lain. Ini menjadi siklus buruk, lingkaran setan yang akhirnya terulang terus-menerus.

Buku yang Terbaik

Tiga fakta sederhana di atas mungkin hanya setitik hal menarik yang bisa kita temukan dari “buku” yang sudah jadi benda yang sama pentingnya dengan peradaban manusia. Namun satu simpulan yang saya bisa tarik dari tulisan singkat itu adalah “buku yang indah, yang seksi, yang paling mahal, buku yang terbaik di dunia adalah buku yang dibaca”. Tanpa mempedulikan citra dan prasangka yang kita dapat dari membaca buku jenis tertentu, bacalah buku dengan tema yang memang menarik minat Anda. Tanpa berorientasi pada investasi materi (bisa dijual lagi dengan harga lebih mahal), belilah buku karena isinya bisa dengan jelas dibaca dan ada manfaat yang bisa ditangkup dari dalamnya. Terakhir, tanpa mempedulikan spesiesnya—apakah itu buku fisik atau yang terdigitalisasi dalam bentuk buku elektronik—bacalah, selama isinya masih merangkum khazanah pemikiran para penulis besar sejagad.

Bacalah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun