Mohon tunggu...
Ardi Winata Tobing
Ardi Winata Tobing Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk mengingat.

Prokopton.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

3 Fakta tentang Buku: Prasangka, Investasi, dan Seksi

30 Agustus 2015   13:21 Diperbarui: 30 Agustus 2015   14:43 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menyebut jika kepribadian seseorang bisa terrefleksi dari buku yang dibacanya. Akankah selalu seperti itu? Beberapa orang malah menggunakan buku sebagai “perias” diri yang berfungsi mirip make-up dengan sering-sering terlihat membawa buku berjudul canggih yang padahal hanya dibaca sesekali atau bahkan sama sekali tak pernah dibuka. Saya tidak tahu apakah “prasangka” ini berdampak positif pagi pembaca buku atau malah sebaliknya, namun tetap saja saya setuju, membaca buku adalah cara untuk membuka lebar-lebar jendela pengetahuan dibandingkan, misalnya, hanya menelan informasi instan namun tak mendalam yang berserakan di internet.

Buku Bisa Jadi Investasi?

2 tahun yang lalu, saya menemukan buku bekas berjudul "Sybil" di salah satu sentra penjualan buku bekas di Kota Medan (sayangnya, kini tempat itu sudah direlokasi). Jujur saja, sampul buku itu sama sekali tidak menarik karena usianya yang sudah tua. Kertasnya juga sudah menguning dan berbau apak, maklum, cetakan pertama tahun 1982. Tapi setelah skimming beberapa halaman, ternyata isinya sanggup menggoda dompet saya untuk menganga terbuka.

Buku itu berisi biografi seorang penderita multiple personality disorder atau kepribadian ganda (hingga terpecah ke dalam 16 kepribadian!) yang ditulis oleh Flora Rheta Schreiber dan masuk dalam daftar 1000 buku terbaik dunia versi situs 5000best.com. Buku itu saya tebus dengan mahar Rp 20.000,-. Beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunggah buku tersebut di salah satu situs jual beli online. Saya banderol buku yang diterbitkan PT. Sinar Harapan itu dengan harga Rp 90.000,-. Lapak online itu sempat terlupakan cukup lama, sampai akhirnya kemarin HP saya kedatangan pesan dari orang yang berniat membeli.

Saya akhirnya membuktikan jika buku pun bisa dijadikan sebagai investasi. Bukan apa-apa, saya pernah melihat buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan Ir. Soekarno dijual dengan harga seratus juta rupiah! Di situs jejaring sosial Facebook, saya berteman dengan puluhan penjual buku di banyak daerah. Saya sering melihat sesi lelang buku virtual dengan mata membelalak. Buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, terutama tetralogi Pulau Buru, dan karya cetakan lawas pengarang ternama lainnya, sering dilelang dengan harga yang tergolong fantastis. Mulai dari ratusan hingga jutaan rupiah, selalu saja ada yang berniat membeli, bahkan saling berebut dengan mengajukan harga, yang untuk sekarang, mustahil saya jangkau.

[caption caption="Salah satu novel Pramoedya Ananto Toer, Arus Balik, yang dihargai hingga jutaan rupiah. (sumber: cyberangjalan.blogspot.com)"]

[/caption]


Terlalu sering melihat hal tersebut secara drastis mengubah persepsi saya terhadap buku. Saya tidak lagi melihat halaman-halaman buku sekadar sumber pengetahuan—namun juga investasi yang berpotensi menghasilkan uang. Buku memang bukan emas, valas atau saham yang bisa diolah untuk mendapat keuntungan raksasa, namun kita bisa mendapat provit lebih dari buku karena fungsinya yang tak cuma sarana meneguk pengetahuan yang akan melekat permanen di otak, tapi juga cara sederhana meraup materi yang jumlahnya cukup menggiurkan. Hanya, tetap saja hakikat utama buku adalah untuk dibaca. Orientasi bisnis cumalah prioritas nomor sekian. Tega rasanya, membeli atau menjual buku dengan harga tinggi, tanpa pernah sekali pun mengintip atau menikmati isi yang tertulis di dalamnya. Mengutip kata pembuka surat Al ‘Alaq dalam kitab Al-Quran, “bacalah!”

Buku Fisik vs Buku Elektronik

Jujur saja, sedikit "sakit hati" rasanya ketika melihat status terbaru yang diunggah seorang penjual buku di situs jejaring sosial Facebook. Status itu berisi kritik terhadap buku elektronik yang dianggap tidak “seksi” dibanding buku fisik. 

Saya memang setuju dengan anggapan si pengunggah status jika ada sensasi tersendiri yang didapat dari buku yang "berwujud". Saya suka mencium wangi khas yang menyeruak dari lembar-lembar kertas buku baru, atau merasakan sensasi ketika jari jemari—salah satu anggota tubuh paling sensitif—membuka satu per satu halamannya. Apalagi tak terkira rasanya kebahagiaan melihat koleksi buku yang berbaris rapi di perpustakaan pribadi. Tapi kenapa saya mesti sedikit "sakit hati"? Ini diakibatkan status saya yang masih seorang mahasiswa. Isi saku yang terbatas dan belum memiliki profesi yang menghasilkan banyak uang membuat saya kebanyakan mesti menahan diri untuk tidak mengklik gambar buku berkualitas yang sering dijajakan dengan variasi harga, mulai yang murah meriah hingga yang cenderung kurang ajar. Jarak rumah yang jauh dari perpustakaan umum pun membuat saya tak mungkin setiap saat bersemadi di sana.

Tapi berkat digitalisasi buku yang kemudian dapat dengan mudah diunduh di internet, hobi baca saya akhirnya tak mesti terkendala dana dan jarak. Dengan mudah saya bisa menikmati karya agung milik Pamuk, Nietzsche, Dostoyevsky, Pram, Hugo, Puzo, Orwell dan ratusan penulis besar dunia lainnya hanya dengan mengeklik link perpustakaan digital—hal yang terlalu sulit saya lakukan di dunia nyata. Tercatat, sudah 1.80 GB file e-book yang berhasil saya pulung dari bermacam situs berbagi buku di internet (jika ada yang berminat, bisa hubungi saya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun