Sejak kecil kita sering diingatkan: jangan boros, hematlah, bersabarlah dalam menunggu rezeki. Nilai-nilai seperti disiplin, kerja keras, dan pengendalian diri dijadikan mantra moral agar seseorang tidak jatuh ke dalam jerat konsumsi yang tak terkendali. Di satu sisi, pesan itu tampak sehat: kita memang perlu mengelola keuangan dengan bijak. Tetapi di sisi lain, ada paradoks yang muncul ketika pesan-pesan itu terus disematkan hanya kepada mereka yang "kurang beruntung," sementara mereka yang sudah kaya --- tanpa batasan moral atau paksaan --- bebas memperkaya diri dan membangun dinasti kekayaan.
Mari kita buka tabir ini: apakah "hemat dan sabar" memang jalan ke kemajuan? Atau justru menjadi strategi pembungkaman agar kelas bawah tak berontak saat ketimpangan semakin melebar?
Kesenjangan Kaya-Miskin: Fakta dan Tren
Untuk memahami konteks, kita butuh data. Di Indonesia, beberapa fakta berikut cukup mencolok:
Menurut laporan Global Inequality Report, Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia dalam ketimpangan distribusi kekayaan. The Jakarta Post+1
Tercatat, 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar daripada jumlah kekayaan gabungan dari 100 juta orang termiskin. Oxfam Policy & Practice+1
Dari aspek simpanan bank: dari total deposito perbankan senilai Rp 8,24 kuadriliun, sebanyak 98,8% rekening ( 547 juta rekening) adalah rekening dengan saldo kurang dari Rp 100 juta --- tetapi hanya menguasai sekitar 12,3% dari total simpanan. Sebaliknya, 135.000 rekening dengan saldo > Rp 5 miliar menguasai 53% dari total simpanan. The Jakarta Post
Koefisien Gini konsumpsi Indonesia sejak 2010 secara konsisten berada di atas 0,38, menunjukkan bahwa distribusi pendapatan tetap cenderung timpang. Afd
Di Amerika Serikat, analisis terhadap kekayaan keluarga kaya menunjukkan bahwa selama beberapa dekade terakhir, mobilitas kekayaan menurun dan konsentrasi kekayaan meningkat --- dinasti-dinasti lama cenderung mempertahankan posisi mereka. ICIJ+3ScienceDirect+3Business Insider+3
Data-data ini menggambarkan bahwa ketimpangan bukan semata soal "jarak yang jauh," tetapi soal akses, mekanisme akumulasi, dan kemampuan menjaga kekayaan agar diwariskan atau diperbesar secara struktural.