Di tengah gemuruh optimisme tentang bonus demografi dan masifnya industrialisasi di Indonesia, ada satu istilah yang mulai mencuat di ruang diskusi akademik dan kebijakan publik: Cassandra Paradoks. Istilah ini mungkin terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, namun penting untuk dipahami agar bangsa ini tidak terjebak dalam euforia semu yang menutupi potensi krisis di masa depan.
Apa Itu Cassandra Paradoks?
Cassandra Paradoks berasal dari mitologi Yunani. Cassandra adalah seorang putri Troya yang diberi karunia oleh dewa Apollo untuk meramal masa depan. Namun, karena ia menolak cinta Apollo, kutukan pun menyertainya: tak seorang pun akan mempercayai ramalannya, meskipun selalu benar. Dalam konteks modern, Cassandra Paradoks merujuk pada fenomena ketika seseorang atau kelompok memberikan peringatan penting tentang bencana atau krisis yang akan datang, namun diabaikan oleh masyarakat atau para pengambil kebijakan karena dianggap pesimis atau tidak sejalan dengan narasi dominan.
Fenomena ini bukan sekadar dongeng. Banyak peristiwa besar di dunia telah menunjukkan bagaimana peringatan-peringatan kritis kerap diabaikan: dari krisis ekonomi 2008, pandemi COVID-19, hingga perubahan iklim yang kini tak bisa lagi disangkal. Lalu, bagaimana Cassandra Paradoks relevan dengan situasi Indonesia hari ini?
1) Bonus Demografi: Berkah atau Bom Waktu?
Indonesia saat ini berada di puncak bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2020, sekitar 70,7% dari total populasi Indonesia berada dalam usia produktif. Fenomena ini dipandang sebagai "jendela kesempatan emas" untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Namun, berbagai pakar demografi dan ekonomi mulai memperingatkan bahwa tanpa kesiapan struktural---seperti pendidikan yang berkualitas, akses lapangan kerja, dan sistem jaminan sosial yang kuat---bonus demografi justru bisa menjadi bumerang. Sebuah laporan dari Bank Dunia pada 2022 menyebutkan bahwa tingkat pengangguran pemuda (youth unemployment) di Indonesia mencapai 17,7%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan lulusan perguruan tinggi pun banyak yang menganggur atau bekerja tidak sesuai bidangnya (mismatch).
Inilah awal dari Cassandra Paradoks. Para ahli memperingatkan risiko "demographic disaster" jika potensi demografi tidak diimbangi kebijakan inklusif dan berorientasi jangka panjang. Sayangnya, peringatan ini seringkali tenggelam oleh narasi penuh semangat yang hanya menyoroti angka-angka potensial tanpa membedah kesiapan sistem pendukungnya.
2) Industrialisasi yang Masif: Solusi atau Ilusi?
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tengah menggencarkan industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam. Sektor seperti nikel, baterai listrik, dan energi hijau menjadi andalan baru menuju Indonesia Emas 2045. Pembangunan kawasan industri, zona ekonomi khusus, dan investasi asing digalakkan sebagai jalan menuju pertumbuhan inklusif.