Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jika Skripsi Dihapus, Lalu Apa yang Relevan untuk Menggantikannya?

17 Mei 2025   21:00 Diperbarui: 15 Mei 2025   11:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://penerbitdeepublish.com/jenis-jenis-penelitian)

umor, melainkan respons terhadap kebijakan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, yang membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mengganti skripsi dengan tugas akhir lain yang relevan.

Langkah ini menuai reaksi beragam. Ada yang menyambut dengan antusias, terutama mahasiswa yang merasa skripsi lebih banyak jadi beban administratif daripada bentuk aktualisasi keilmuan. Tapi tak sedikit pula yang khawatir, "Kalau skripsi dihapus, apakah mahasiswa tetap punya bukti kompetensi? Lalu tugas akhir seperti apa yang pantas menggantikannya?"

Pertanyaan ini penting. Karena jika kita mau jujur, yang perlu dikritisi bukan sekadar bentuk tugas akhirnya (skripsi atau bukan), tapi relevansi dan manfaatnya. Maka mari kita telusuri, apakah benar skripsi sudah usang, dan apa saja opsi yang layak menggantikannya di era pendidikan tinggi modern.

Mengapa Skripsi Mulai Dipertanyakan?

Skripsi---sebuah karya tulis ilmiah individual di akhir masa studi S1---disebut-sebut sebagai simbol pencapaian akademik tertinggi seorang sarjana. Namun, dalam praktiknya, banyak yang merasa skripsi telah berubah fungsi menjadi:

Tugas administratif yang melelahkan, bukan refleksi capaian belajar.
Formalitas tanpa makna: topik tidak kontekstual, data dimanipulasi, hasil tidak pernah digunakan.
Beban psikologis: menurut survei Tirto.id (2021), lebih dari 68% mahasiswa mengalami stres berat dan kecemasan berlebihan saat mengerjakan skripsi.
Tidak semua bidang cocok meneliti dalam bentuk skripsi: Mahasiswa seni, vokasi, atau pendidikan praktik sering kesulitan menyesuaikan teori dengan praktik nyata.
Dosen dan pakar pendidikan pun menyuarakan hal serupa. Profesor Irwan Abdullah dari UGM menyatakan bahwa "dalam banyak kasus, skripsi tidak lagi menjadi ruang eksplorasi ilmiah, melainkan tugas formal yang menjauh dari realitas dan kebutuhan lapangan."

Lalu Apa yang Bisa Menggantikan Skripsi?

Bila skripsi tak lagi relevan, apa bentuk tugas akhir yang justru lebih bermakna? Dalam Permendikbudristek terbaru, disebutkan bahwa tugas akhir bisa berupa:

1. Proyek Akhir (Capstone Project)
Bentuk ini sudah lazim di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Mahasiswa membuat proyek nyata yang menyelesaikan masalah di bidangnya.

Contoh:

Mahasiswa Teknik membuat prototipe alat otomatisasi pertanian.
Mahasiswa Desain membangun brand UMKM dari nol.
Mahasiswa Pendidikan menyusun modul pembelajaran dan mengujicobanya langsung di sekolah.
Nilai lebih: Mahasiswa tidak sekadar menulis, tapi menciptakan solusi nyata.

2. Portofolio Karya
Cocok untuk program studi berbasis keterampilan: seni rupa, desain, komunikasi visual, penyutradaraan, atau musik.

Contoh:

Mahasiswa seni menyerahkan kumpulan karya lukis atau pertunjukan teater.
Mahasiswa jurnalistik menyusun portofolio liputan mendalam.
Keunggulan: Menilai hasil kerja nyata dan orisinalitas, bukan sekadar teori.

3. Publikasi Ilmiah atau Populer
Mahasiswa menulis artikel yang layak dimuat di jurnal ilmiah atau media populer berbasis analisis akademik.

Contoh:

Mahasiswa sosiologi menulis opini di Kompas tentang tren gaya hidup remaja pascapandemi.
Mahasiswa psikologi menulis artikel ilmiah kuantitatif yang dipublikasikan di jurnal kampus.
Keuntungan: Mahasiswa belajar menulis untuk audiens yang lebih luas, bukan hanya untuk dosen pembimbing.

4. Magang atau Praktik Kerja dengan Laporan Akhir Reflektif
Sangat cocok untuk kampus yang mengusung program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Mahasiswa magang selama 1 semester dan membuat laporan reflektif yang menunjukkan apa yang dipelajari dan bagaimana kompetensinya meningkat.

Data: Program MBKM yang digagas sejak 2020 telah melibatkan lebih dari 750.000 mahasiswa, menurut Kemendikbudristek (2023).

Apa Syarat Pengganti Skripsi yang Ideal?

Tugas akhir bukan soal menulis panjang, tetapi tentang menunjukkan capaian kompetensi lulusan. Maka pengganti skripsi yang baik harus:

Autentik dan kontekstual: Terkait dengan isu nyata dan kebutuhan masyarakat.
Menunjukkan kompetensi utama lulusan: Bukan sekadar meniru teori, tetapi mengaplikasikan.
Bisa diverifikasi dan dievaluasi: Harus ada ukuran keberhasilan yang objektif dan transparan.
Mendukung kesiapan kerja atau studi lanjut: Menjadi nilai tambah saat memasuki dunia kerja atau akademik.
Jadi, Perlu Dihapus?

Menghapus skripsi bukan soal membuang tanggung jawab, tapi soal transformasi pendidikan tinggi yang lebih relevan, aplikatif, dan manusiawi. Kita hidup di zaman di mana:

Perubahan teknologi begitu cepat
Dunia kerja lebih menghargai keterampilan dan portofolio
Kolaborasi lintas bidang menjadi kebutuhan
Dalam konteks ini, skripsi sebagai format tunggal menjadi terlalu kaku dan kadang tidak memberi ruang bagi kreativitas mahasiswa.

Penutup: Yang Dihapus Bukan Esensi, Tapi Bentuk Lama

Skripsi boleh dihapus, tapi kemampuan berpikir kritis, riset, komunikasi, dan problem solving tetap wajib dikuasai. Justru dengan opsi tugas akhir yang beragam, mahasiswa diberi kesempatan untuk berkembang berdasarkan kekuatan dan bidangnya masing-masing.

Pendidikan tinggi yang baik bukan yang seragam, tapi yang memberi ruang untuk keunikan mahasiswa berkembang secara otentik.

Kalau kamu mahasiswa atau dosen, bagaimana menurutmu? Apakah kamu siap menyambut sistem tugas akhir yang lebih fleksibel dan relevan?

#SalamLiterasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun