Pemerintah kembali meresmikan wacana pengembalian sistem penjurusan di sekolah SMA beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut terkonfirmasi melalui media Tempo yang menulis  bahwa DPR RI melalui Komisi X telah menyetujui rencana dikembalikannya sistem penjurusan di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebijakan ini nantinya akan diumumkan secara resmi melalui pidato presiden pada peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei mendatang.Â
Alasan dari DPR sendiri selaku pejabat Legislasi yang memberikan lampu hijau terhadap penerapan kembali sistem penjurusan kelas di SMA adalah karena mereka telah mengevaluasi regulasi yang berlaku serta mengadakan kajian lapangan yang diadakan oleh Kemendikdasmen. Mereka menilai bahwa dasar penghapusan penurusan melalui Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 telah bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
"Permendikbud  itu bertentangan dengan PP Nomor 17 tahun 2010 yang masih berlaku. Di situ jelas disebutkan SMA dibagi dalam jurusan IPA, IPS, Bahasa, Keagamaan, dan lainnya," kata Lalu Hadrian saat ditemui pihak Tempo usai rapat kerja dengan Mendikdasmen di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 22 April 2025.
Lebih jelasnya, penjurusan akan dilakukan kembali di jenjang kelas 11 SMA, sedangkan di kelas 10 siswa akan mengikuti rangkaian asesmen binat dan bakat untuk nantinya digunakan sebagai penyocokkan jurusan. Tak hanya itu, ia juga menekankan skema baru penurusan agar dirancang dengan sebaik mungkin untuk menghindari kesan atau stigma seperti yang sedang ramai dibicarakan saat ini terkait isu penerapan kembali penjurusan di SMA.
Jika kita melihat sejarah masa lalu terutama saat penjurusan telah dijalankan di sekolah-sekolah SMA di Indonesia, secara tidak langsung kesan atau stigma tentang anak Ipa adalah anak yang unggul sementara IPS atau Bahasa adalah mereka anak yang dikenal kurang pandai telah menjadi hal yang lumrah terjadi di masa lalu. Belum lagi adanya kastanisasi di kalangan murid IPA dengan IPS, masalah perbedaan karakter, anggapan negatif yang selalu melekat kepada murid IPS, hingga diskriminasi yang menimpa mereka yakni para alumni sekolah SMA yang berasal dari jurusan IPS saat mendaftar ke perguruan tinggi.
Hal-hal semacam itu tentu tak hadir begitu saja tanpa sebab dan muasalnya. Dimulai sejak kolonial yang bernama Hogere Burger School (HBS) yang mulai memisahkan kelas-kelas siswa berdasarkan minat dan bakatnya. Kemudian berlanjut di era awal kemerdekaan dan orde baru dengan membuat kelas SMA A untuk ilmu pengetahuan alam, SMA B untuk ilmu pengetahuan sosial, dan SMA C untuk bahasa dan sastra Indonesia.
Selanjutnya pakem dari sistem penjurusan yakni IPA, IPS, dan Bahasa resmi diperkenalkan pada kurikulum 1975. Sejak saat itulah sekolah-sekolah di jenjang SMA mulai menerapkan penjurusan hingga tahun 2021.
Dalam perjalanannya, ada banyak plus minus yang mengiringi jalannya sistem penjurusan di SMA. Hal itu dimulai pada saat munculnya asumsi pertama kali bahwasannya "anak ipa"Â adalah mereka yang tergolong ke dalam siswa pandai. Sementara anak ips dan bahasa justru dianggap sebaliknya.Â
Berikutnya, muncul pula asumsi dari orang tua siswa yang menyatakan bahwa "anak saya harus masuk ipa agar mudah untuk beruliah". Suka atau tidak suka, anggapan itu nyatanya memang benar-benar terjadi bahkan justru ditindak lanjuti sampai ke ranah Perguruan Tinggi.
Masih ingatkah anda tentang sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang pernah diterapkan beberapa tahun lalu? Ya, nem digunakan untuk mengetahui standar kelulusan akademik yang nantinya bisa digunakan siswa untuk mendaftar di Perguruan Tinggi. Dari nem itulah muncul angggapan bahwa jika ingin mudah berkuliah maka si anak harus lulus SMA dari kelas IPA agar nem nya mudah digunakan.
Tak hanya soal pelik dari ranah akademik, penjurusan nyatanya juga menghadirkan masalah lain yang tak pernah terselesaikan hingga kurikulum merdeka diterapkan. Masalah yang dimaksud yakni adanya anggapan anak tiri dan anak kandung di sekolah.Â
Murid IPA biasanya lebih diakui moral dan adabnya yang terkenal baik di kalangan guru-guru. Sementara untuk murid IPS justru dikenal dan dicap sebaliknya. Hal itu yang pada akhirnya menciptakan perlakuan berbeda dari para guru-guru terutama pada saat proses pembelajaran di kelas.
Nilai positif penjurusan?