Mohon tunggu...
Astriana
Astriana Mohon Tunggu... Freelancer - Pengarang

Review, sastra, diktat kuliah, mental health

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

FOMO, Penyakit Takut Ketinggalan

13 September 2022   19:44 Diperbarui: 14 September 2022   10:59 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari saya berada di satu meja dengan teman-teman kelas saat jam makan siang. Salah satu teman kemudian mengucapkan kata "FOMO" dengan ekspresi sedikit takut atau bisa juga resah setelah melihat instastory salah satu orang. 

Saat itu saya hanya bisa pura-pura paham dengan istilah "FOMO" yang sama sekali belum pernah saya dengar sebelumnya. Setelah mendengar ceritanya yang panjang lebar itu saya menarik kesimpulan bahwa "FOMO" sama artinya dengan iri. Yang sedikit berbeda adalah "FOMO" dibingkai menjadi iri dalam hal yang positif dan seseorang yang "FOMO" seolah dinormalisasi untuk memenuhi rasa irinya.  

 

Apa sebenarnya FOMO?

Lepas dari hak setiap individu untuk menentukan pilihan hidupnya. Setelah dipikir-pikir "FOMO" sebenarnya seperti narkoba, mungkin hanya akan merugikan diri sendiri mungkin juga tidak. 

Mungkin berdampak positif mungkin juga tidak sama sekali. Sejak 2013 saat Pak Andrew K. ilmuan asal Britania mengenalkan istilah FOMO yang dalam bahasa Inggris berarti fearing of missing out. Berarti saat itu atau sebelum itu telah terjadi fenomena FOMO pada banyak orang, salah satunya seperti yang dilakukan teman saya di jam makan siang.

FOMO adalah penyakit takut ketinggalan. Di era medsos ini, penyebaran informasi berlangsung sangat cepat dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Seseorang di Sabang akan sangat mudah menerima kabar dari temannya di Merauke. Adalah sebuah pengetahuan umum bahwa keberadaan teknologi akan memudahkan akses informasi dan selain membawa dampak positif juga akan membawa dampak negatif yang memunculkan kejadian-kejadian baru yang kadang aneh.

Penyakit takut ketinggalan atau FOMO ini sedikit banyak membikin manusia modern terpatok pada kehidupan media sosial. Ketika temannya atau salah satu artis membagikan kegiatan atau pencapaiaannya seperti:

 "Yeaay, seneng banget hari ini healing ke Bali pakek uang sendiri"  atau

"My small business is growing (emot love tiga kali)" atau

"Maaci martabaknya Mas Pacar... <3" (Sambil upload foto pacar di depan pagar yang masih pakai helm) 

Seorang yang FOMO sekonyong-konyong ingin menjadi manusia super yang bisa dan berkesempatan untuk mendapatkan hal yang sama. Mendadak ingin kuliah sambil kerja plus merintis small bisnis dan setiap hari dapat semangat dari Mas Pacar. 

Ingin mempunyai kehidupan yang keren tanpa melihat mana yang sebenarnya dibutuhkan/diinginkan dan yang sesuai dengan kapasitas dirinya. Ingin terlibat dalam segala trend. Ingin sama dengan yang lain. Dan keinginan-keinginan lain yang menjelma menjadi obsesi buta.

Kehidupan media sosial seolah dibingkai menjadi kehidupan tanpa celah kesedihan. Sementara itu banyak hal yang tidak kita ketahui. Sisi pahit dibalik hal-hal tersebut, proses panjang yang telah dilewati, serta kekecewaan besar yang telah dialami.

Menjadi FOMO sama dengan menggonsumsi narkoba?

Menuruti FOMO yang tidak pada porsinya sama saja menjadi manusia rakus. Sama saja mengonsumsi narkoba. Karena jika diteruskan akan membentuk sebuah habit/kebiasaan yang merangsang otak kita untuk terus melakukannya setiap menemui rumput tetangga yang lebih hijau.  

Dan jika sebenarnya narkoba bisa dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakit. Begitu juga dengan FOMO jika disetir menjadi motivasi diri yang disesuaikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan. 

Kemudian diikuti dengan usaha yang telaten dan sungguh-sungguh. Maka FOMO jelas bisa memberi dampak positif tidak hanya bagi diri sendiri bahkan mungkin untuk orang lain. 

Sebaliknya jika FOMO disetir menjadi obsesi buta yang grasak-grusuk tanpa memperhatikan kemampuan diri maka kita akan menjadi gila karena hal itu. Kemudian terjadi keajadian yang tidak enak didengar seperti, "Karena ingin tas branded seseorang rela jual diri sambil pinjol sana-sini." konyol bukan?

Sehinga perlu bersyukur dengan apa yang dimiliki, bisa jadi posisi kita saat ini adalah posisi yang diinginkan banyak orang di luar sana. Jangan buru-buru tidak puas dengan apa yang dimiliki saat ini. Ketika terlintas sinyal-sinyal FOMO tanyakan pada diri sendiri setidaknya tiga kali, "Apakah ini hanya obsesi buta atau memang mimpi yang ingin aku wujudkan? Aku tidak melakukannya untuk mendapat validasi atau pujian dari orang lain tapi memang untuk diriku pribadi?" 

Sudah besar, jadilah orang yang punya pendirian. Tidak semua harus kita miliki. Jika dalam perjalanan kamu mengendarai motor jangan tiba-tiba ingin memakai mobil seperti orang yang kamu temui di jalan karena bisa jadi di perempatan depan akan macet. Tapi karena mengendarai motor kamu bisa menyelip lewat sela-sela yang kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun