Mohon tunggu...
ardian bakhtiar rivai
ardian bakhtiar rivai Mohon Tunggu...

Kalau Mau Pasti Bisa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajeg Bali: Konsep untuk Selamatkan Bali

29 Juli 2010   06:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bali yang terkenal sebagai objek wisata paling favorit di Indonesia merupakan kekayaan khasanah budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Selain sebagai pewarna dalam nilai-nilai Kebhinekaan kultur Indonesia, budaya Bali yang khas juga merupakan salah satu sumber utama keuangan Republik ini. sudah hampir dua puluh tahun saya tinggal di Bali, perasaan bangga dan kecintaan akan tanah air selalu menghiasi hati dan pikiran saya. Da banyak alasan untuk bisa mencintai dan menyayangi Bali sebagai salah satu aset budaya Indonesia. Ciri khas tentang keberagaman dan multikulturalisme Indonesia menjadi faktor utama untuk membangkitan semangat nasionalisme tersebut. Bali, selain terkenal akan fanorama alam yang indah dan menawan, juga menyimpan banyak khasanah kepercayaan lokal yang menjadikan pulau ini semakin kaya raya akan nilai-nilai tradisionalnya. Seperti yang saya kutip dari Data Biro Pusat Statistik yang terakhir dilansir tahun 2009 menyebutkan bahwa Jumlah wisatawan asing ke Bali selama kuartal pertama tahun 2009 ini meningkat 24,85 persen menjadi 71.970 orang, meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 57.647 orang. Kepala Biro Pusat Statistik Provinsi Bali Ida Komang Wisnu mengemukakan, wisatawan yang paling banyak datang dari Australia, naik 14.67 persen menjadi 490.454 orang, kemudian disusul wisatawan asal Jepang sebanyak 83.470 orang, dan kemudian wisatawan asal Cina 56.030 orang dan wisatawan asal Malaysia sebanyak 29.971 orang. Menurut Biro Pusat Statistik, pada bulan Januari 2009 jumlah wisatawan asing mencapai 473.2 ribu orang atau naik 8.04 persen. Penumpang KA 4.49 juta orang. Penumpang angkutan laut Dalam Negeri 488.48 ribu orang atau turun 3.40 persen. Penumpang angkutan udara domestik 2.72 juta orang atau turun 3.76 persen.

Secara keseluruhan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia pada Januari 2009 mencapai 473,2 ribu orang atau naik 8,04 persen dibanding jumlah wisman Januari 2008 sebanyak 438,0 ribu orang. Sedangkan jika dibanding Desember 2008, jumlah wisman Januari 2009 turun 22,49 persen.

Jumlah wisman yang datang melalui 11 pintu masuk utama pada Januari 2009 naik 9,23 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari 360,5 ribu orang menjadi 393,8 ribu orang. Sebaliknya jika dibanding Desember 2008, wisman yang datang melalui 11 pintu masuk turun 21,99 persen. Jumlah wisman ke Bali pada Januari 2009 naik 18,06 persen dibanding Januari 2008. Dibanding Desember 2008, jumlah wisman ke Bali mengalami penurunan sebesar 1,69 persen, yaitu dari 176,9 ribu orang menjadi 173,9 ribu orang pada Januari 2009.

Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di 14 provinsi pada Januari 2009 mencapai rata-rata 45,10 persen, atau turun 4,59 poin dibanding TPK Desember 2008 yang sebesar 49,69 persen. TPK hotel berbintang di Bali turun 8,86 poin pada Januari 2009 bila dibanding Desember 2008, yaitu dari 62,23 persen pada Desember 2008 menjadi 53,37 persen pada Januari 2009. Rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel berbintang di 14 provinsi selama Januari 2009 adalah 2,22 hari, mengalami kenaikan 0,17 hari dibanding bulan Desember 2008. Mulai Desember 2008 lalu, penyajian statistik hotel telah berhasil diperpendek time lagnya menjadi satu bulan, sehingga time reference menjadi sama dengan penyajian statistik wisman. Jumlah penumpang kereta api bulan Januari 2009 mencapai 14,49 juta orang, yang berarti turun 5,47 persen dibanding bulan Desember 2008. Hal yang sama terjadi untuk barang yang diangkut kereta api turun 5,80 persen menjadi 1,53 juta ton.

Jumlah penumpang angkutan laut dalam negeri bulan Januari 2009 tercatat sebesar 488,48 ribu orang atau turun 3,40 persen dibanding bulan Desember 2008. Pada saat yang sama, jumlah barang yang diangkut turun 6,74 persen menjadi 12,33 juta ton. Jumlah penumpang angkutan udara domestik bulan Januari 2009 mencapai 2,72 juta orang atau turun 3,76 persen dibanding bulan Desember 2008. Demikian juga jumlah penumpang tujuan luar negeri (internasional) turun 12,11 persen menjadi 544,2 ribu orang.

Data yang saya sampaikan di atas sudah cukup untuk merepresentasikan tentang betapa tingginya minat wisatawan asing untuk berkunjung dan mengenal lebih dekat tentang khasanah budaya lokal di Bali. Sesungguhnya saya menginterpretasikan kondisi yang semacam ini bisa berdampak positif dan negatif bagi keberlangsungan eksistensi budaya Bali. Tak dapat dipungkiri tingginya minat wisatawan asing untuk datang dan berkunjung ke Bali juga bisa menjadi pisau bermata dua, yang di satu sisi bisa saja menguntungkan Bali sebagai objek wisata. Tapi, di sisi lain bisa juga justru akan menghancurkan sistematikan nilai-nilai lokal adat di Bali. Sebagai contoh, ketika suatu objek adat istiadat yang kemudian dikomersilkan menjadi objek wisata yang terkenal. Maka, banyak kalangan lokal dan adat yang justru tidak menikmati hasil dari kekayaan alam mereka sendiri. Sebagai contohnya adalah, di Pura Tanah Lot yang dulu sebelum menjadi objek favorit di Bali masyarakat yang hendak melakukan persembahyangan dapat dengan mudah masuk ke dalam areal pura tersebut tanpa harus ada prosesi formal layaknya seperti yang terjadi saat ini. Demikian juga dengan keadaan masyarakat di sekitar yang tidak semuanya dapat menikmati keuntungan dari ramainya wisatawan yang berkunjung ke tanah adat mereka. Mungkin ada beberapa pihak yang sangat memperoleh keuntungan dari ‘larisnya’ kunjungan wisata ke tanah lot, tapi pihak tersebut hanya segelintir saja. Pihak yang hanya memiliki kekuatan modal yang cukup, sehingga mampu membuka lapangan bisnis atau proyek komersil yang berkorelasi dengan pariwisata tersebut. Sekarang saya ingin mengajak pembaca semua untuk berfikir, bagaimna nasib-nasib para petani asli di sekitar Tanah Lot yang harus merelakan lahan pertanianya dijual untuk dijadikan hotel, villa atau losmen sebagai pendukung infrastruktur pariwisata di daerah tersebut.

Semakin sulitnya untuk bertahan hidup hanya dengan mengandalkan aspek pertanian di daerah tersebut mengakibatkan Bali harus merelakan lahan-lahan pertanianya dialihfungsikan sebagai infrastruktur pariwitasa. Seperti yang saya kutip dari Kepala Bagian Publikasi dan Dokumentasi pada Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali I Ketut Teneng di Denpasar menyebutkan bahwa setiap tahunya Pulau Bali kehilangan sekitar 750 hektar lahan pertanian untuk alih fungsi sebagai pendukung infrastruktur Pariwisata Bali. Hal ini tak dapat dihindarkan memang sebagai aspek pendukung tingginya kunjungan wisata di Bali, sehingga permintaan akan tempat inap dan lahan-lahan pendukung wisata menjadi sangat tinggi pula. Namun demikian, tidakkah justru hal yang berlebihan seperti ini untuk hanya berkonsentrasi pada kekuatan kapitalis modern tanpa memikirkan aspek tanah Adat Bali yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam di Bali harus diabaikan. Tentu saya akan tegas menjawab tidak.

Sesungguhnya permasalahan tanah adat tidak hanya pada aspek alih fungsi dari persawahan menjadi hotel layaknya yang saya sampaikan di atas tapi masih ada banyak permaslahan lainya yang mengguncang tanah adat di Bali yang sangat mengkhawatirkan hingga saat ini, seperti yang terjadi:


  • Kasus – kasus mengenai konflik antara masyarakat dengan para pengembang (investor) pariwisata antara lain di Desa Tulamben,Desa Selasih.
  • Kasus Tanah Retribusi (Desa Musi, Desa Sanggalangit,Desa Grokgak, Desa Pengulon Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng)
  • Ditariknya Hak Garap (Br Taman Desa Tuwed, Kec Melaya Kab Jembrana)
  • Pengalihan lahan Garapan Masyarakat (Karang Asem)
  • Perampasan Sumber Mata Air (Subak Agung Yeh Ho Tabanan)
  • Sertifikasi perorangan terhadap tanah negara (Gunung Ser, Tanjung Rijasa)
  • Terlantarnya tanah Negara (Pemukiman Gilimanuk)
  • Penebangan Hutan Secara Liar Oleh masyarakat yang melibatkan aparat kemanan dan kehutanan di Hutan Jembrana

Seperti penulis kutip dalam Taufik Hidayat (2001:4) menyebutkan bahwa ada juga beberapa masalah prinsip lainya yang hingga saat ini masih terjadi perjuangan advokasi oleh banyak kalangan LSM dan organisasi kemahasiswaan untuk tetap memperjuangkan hak tanah adat masyarakat atas perlindungan dari kapitalisme pemegang modal (investor). Desa Sumber Kelampok yang masuk dalam wilayah Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng muncul kepermukaan setelah adanya pembangunan sarana pariwisata yang masuk kawasan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang memakai lahan seluas 289 Ha, adanya status tanah yang belum jelas, tetapi ijin pendirian sarana wisata sudah keluar menimbulkan kecemburuan dimasyarakat. Kegiatan pembangunan sarana pariwisata telah mulai melakukan penebangan pohon di lokasi yang akan didirikan sarana pariwisata . Kerusakan terumbu karang cukup parah terjadi dikarenakan kegiatan wisata bahari/wisata tirta di kawasan laut yang berada di arela TNBB, dikhawatirkan akan mempengaruhi keberlanjutan dari trumbu karang yang ada pad saat ini bila sarana pariwisata berdiri di kawasan TNBB.

Dampak Strategis berdasarkan perkembangan awal dari permasalahan pengembangan pariwisata adalah akan banyak investor yang akan menanamkan modalnya ke Desa Sumber Kelampok sedangkan status tanah mereka belum jelas dan hutan lindung TNBB akan mengalami perubahan ekosistem yang sangat drastis karena Zona penyangganya sudah tidak berfungsi lagi. Adanya pencurian kayu(penebangan liar terlebih dahulu) memperparah keadaan , indikasi keterlibatan masyarakat jelas inheren dengan kebutuhan hidup yang semakin sulit, tetapi adanya keterlibatan aparat keamanan, kehutanan dan TNBB merupakan bukti bobroknya sistem regulasi dan yuridis dalam aktualsasi prokteksi terhadap eksistensi keseimbangan lingkungan.

Begitu juga halnya seperti yang terjadi di Dusun Sendang Pasir (Taufik Hidayat, 2001:5). Dusun Sendang Pasir adalah sebuah dusun yang terletak di pinggiran utara Desa Pemuteran Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng , Propinsi Bali, kurang lebih berjarak 28 Km dari Gilimanuk ke arah Singaraja. Memiliki tofografi tanah mendatar, dengan kawasan pantai pasir puith terhampar, diapit oleh dua buah bukit indah disebellah pantai timur Sendang Pasir dengan udara sejuk dan tanaman yang cukup subur. Luas perkebunan Sendang Pasir kurang lebih 246, 5 Ha. Kini di huni kurang lebih 450 kepala keluarga yang hidup tentram, rukun aman , dan sejahtera dengan berbagai sumber penghidupan yang dikaruniai Tuhan baik dengan mengelola lahan perkebunan yang subur maupun dengan menangkap ikan di laut dan mengelola hasil-hasilnya.

Pengelolaan tanah di kawasan Sendang Pasir dilakukan oleh orang Belanda pada tahun 1917 dengan mendatangkan pekerja dari Jawa dan Madura, pada tahun 1935 tanah yang semula dikusai oleh Belanda dialihkan pada pengusaha Tiong Hoa, Tahun 1955 dialihkan pada YKP ( Yayasa kebaktian pejuang) disini pun warga dapat mengelola dan menggarap lahan perkebunan Sindang pasir dengan aman tentram rukun damai dan dapat mencukupi kebutuhan kehidupannya hingga tahun 1970.

Permasalahan muncul kurang lebih tahun 1970 yakni ketika hadirnya PT Margarana yang ditunjuk sebagai pengelola lahan perkebunan rakyat oleh YKP di dusun Sendang Pasir dengan membawa penggarap baru yang dibawa dari wilayah Bali timur (Kabupaten Karang Asem), Mulailah aksi-aksi ancaman, teror dan tekanan-tekanan lainnya untuk mengusir warga Sendang Pasir (Tahun 1983) yang dulu merabas hutan dan semak belukar dengan tetes keringat bahkan dengan mempetaruhkan nyawa sekalipun, untuk dijadikan lahan yang produktif dan ekonomis yang dapat menunjang penghidupan warga.

Realitas objektif yang terjadi sebagai bukti pelanggaran HAM adalah dengan digusurnya dan diratakan dengan tanah makam leluhur warga Sendang Pasir pada tahun 1983, dan dipagarinya jalan masuk dengan kawat berduri serta menempatkan aparat keamanan. Insiden yang terjadi pada tanggal 17 September 1993 dimana terjadi pemukulan dan penendangan oleh oknum dari KORAMIL terhadap warga desa yang bernama RASYID karena menyangkal tuduhan bahwa warga dusun Sendang Pasir adalah gembaong PKI. Tanggal 23 oktober 1993 Intimidasi langsung diterima warga berupa mendatangkan buldozer yang dikawal empat puluh orang berpakaian militer yang masuk keperkebunan dan mengarah pada salah satu rumah warga di Sendang psair yang bernama HARIYADI, ketika Hariyadi mencoba untuk menghentikan buldozer tersebut, dia ditarik oleh dua orang aparat dan dipukuli, warga desa lainnya yang bernama Buk MO (70 th) tak tahan melihat lalu pingsan, kemudian diseret oleh dua aparat lainnya tetapi keburu dilepaskan karena dikatahui oleh 400-an warga Sendang Pasir. Melihat kejadian tersebut KORAMIL lalu memanggil KASDIM dan pasukannya (YONIF 741 Singaraja dan Hansip desa Pemutaran) untuk memukul warga, dan jatuh lagi korban akibat insiden tersebut yaitu Pak PUSAHRA dan AMIR. Pada kejadian tersebut DANRAMIL sempat mengeluarkan pistol dan siap menembak dua orang warga yang sempat mengejarnya, sedangkan warga desa lainnya panik karena dipukuli, dilempari bom asap serta ditusuk dengan bayonet, selain hal tersebut diatas terjadi penengkapan dan penyeretan terhadap dua orang warga yang bernama RASIK dan MUSAHWI. Peristiwa tersebut sejak didatangkannya Buldozer sampai adegan bentrokan warga dengan aparat dikenang dengan TRAGEDI 23 OKTOBER 1993.

Banyaknya pengorbanan tanah adat di Bali yang dengan sangat mudahnya dialihfungsikan sebagai penunjang pariwisata inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk menyusul esai ini, sebagai bentuk partisipasi dalam lomba yang mengutamakan gagasan bagi keberlangsungan slogan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia dewasa ini. Bali terkenal menjadi daerah wisata di seluruh pelosok dunia karena keindahan almnya yang sangat memukau. Sehingga, apabila saat ini banyak pihak yang dengan sangat mudah menciderai keindahan alam demi kepentingan investasi yang bersifat pragmatis tentu sangat membahayakan bagi keberlangsungan pariwisata di Bali. Tidak hanya bagi anak cucu di kemudian hari yang tinggal dan hidup di Bali. Tapi juga bagi seluruh elemen bangsa Indonesia yang menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu juga. Jadi segala hal yang kemudian akan dirasakan Bali suatu saat kelak merupakan bentuk korelasi dengan daerah lainya di Indonesia.

A.Gagasan

Bali sebagai system budaya merupakan laboratorium social Indonesia dalam menerapkan “constructive pluralism”. Sebagai minoritas telah mendapat tempat tersendiri di hati sanubari sebagian rakyat Indonesia yang beragaa Islam dan sebaliknya orang-orang Bali yang beragama Hindu juga menghormati Islam dengan segala kulturnya, tanpa khawatir terjadinya asimilasi yang dipaksakan atau termarginalkan (Muladi:2008). Bali merupakan entitas yang menjadi bagian dari NKRI. Oleh karena itu, membahas masalah ajeg bali adalah membahas sebuah kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup dan eksistensi Bali yang berpengaruh terhadap integritas dan integrasi nasional. Bali merupakan bagian NKRI. Bali juga mempunyai andil dan saham dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menggunakan wawasan nusantara sebagai wawasan kebangsaan, maka baik buruknya Bali akan berpengaruh terhadap baik buruknya Indonesia, dan ketahanan atau ajeg Bali akan berpengaruh terhadap ketahanan atau ajeh Indonesia, begitu juga sebaliknya.

Ajeg Bali dapat diartikan sebagai “Kondisi dinamik Bali, yang meliputi segenap aspek kehidupanya yang terontegrasi, berisi keuletan dan ketangguhanya yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatanya dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, baik yang dating dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, kelangsungan hidupnya sendiri dalam hubunganya dengan kelangsungan hidup bangsa dan Negara (NKRI) serta perjuangan mengejar tujuan nasional (wingarta,2006:6).

Dari definisi di atas didapat beberapa kata kunci, bahwa Ajeg Bali adalah kondisi dinamik, bukan kondisi statis. Aspek kehidupan yang dimaksud adalah aspek geografi, demografi, SKA, ideology, politik, ekonomi, social budaya, pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu Ajeg Bali bukan hanya sekedar aspek social budaya dan agama saja, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan yang saling pengaruh mempengaruhi. Kata-kata Bali yang dimaksud adalah sebuah entitas politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan, keamanan, hukum, demografi dan dalam batas-batas wilayah geografi yang jelas menurut peraturan dan perundang-undangan NKRI (sebagai salah satu dari provinsi dari NKRI).

Wawasan kebangsaan Bali (berupa ethno-nationalism, religious-natuinalism, dan plural-nationalism) merupakan bagian dari wawasan Kebangsaan Indonesia. Ketahanan “Nasional” Bali merupakan bagian dari ketahanan Nasional Indonesia secara keseluruhan, dan kewaspadaan “nasional” di Bali merupakan kewaspadaan Nasional Indonesia secara menyeluruh (Wingarta, 2006:7).

Ida Pedanda Gede Made Gunung dalam dharma wacananya mengatakan bahwa Bali menjadi leteh atau tercemar, karena banyak orang Bali dan orang luar yang tinggal di Bali tidak mengerti makna dari kata-kata Bali. Sesungguhnya Bali berasal dari kata “Wali” atau “Banten”. Artinya, Bali identik dengan kesucian baik buana agung (alam) maupun buana alit (diri manusia). Karena itu setiap orang yang tinggal di Bali harus memahami hakekat kesucian Bali itu sendiri, artinya setiap orang yang tinggal di Bali wajib menghormati kultur Bali yang berlandaskan budaya Bali.

Kedepan arogansi pariwisata tidak menjadi embrio justru bagi kehancuran dan kemudharatan Bali sebagai Pulau yang sangat identik dengan khasanah budaya dan aspek sosiologis Hindu yang sangat kental. Arogansi pariwisata yang saat ini mulai mengikis tingkat nasionalitas warga Bali harus perlahan dihilangkan. Bali yang ‘hidup’ dari sector pariwisata harus dikembalikan kepada nilai-nilai adatnya yang erat dengan budaya Hindu. Pariwisata Bali juga telah membuat Bali kontemporer menjadi Bali yang masyarakatnya mengalami kesenjangan social. Pendapatan Asli Daerah Bali 75% berasal dari kabupaten Badung dan Denpasar, 25% sisanya berasal dari 7 Kabupaten lainya dari 8 kabupaten dan 1 Kota di Bali. Rakyat miskin di Bali tahun 2001 menunjukkan sekitar 75,28% berada di Kabupaten Jembrana, Buleleng dan Karangasem. 3 kabupaten yang secara geografis berada di belahan Utara Pulau Bali. Bali bagian utara dan selatan mengalami kesenjangan yang serius di bidang ekonomi. Di 3 kabupaten ini masyarakatnya mengandalkan kehidupanya dari hasil pertanian. Sekitar 20% masyarakat Bali menggantungkan hidupnya dari sector pertanian, ironisnya sector pertanian di Bali belum tersentuh berbagai kemudahan seperti subsidi dan sejenisnya, seperti berbagai kemudahan yang diperoleh sector pariwisata.

Bali Post, Minggu 17 September 2006 menampilkan data bahwa sebanyak 260 dari 701 desa/kelurahan di Bali tergolong desa tertinggal. Dari jumlah tersebut presentase cukup mencolok berada di Kabupaten Karangasem yang wilayah ketertinggalanya mencapai 55,84%, diurutan kedua Kabupaten Buleleng dengan 52,03%, Kabupaten Bangli 47,83% Kabupaten Jembrana 39,22%. Di wilayah lain persentase ketertinggalan tersebut masih didominasi persoalan infrastruktur jalan yang menghubungkan daerah tersebut dengan dunia luar.

Sehingga sudah tepat saatnya, agar Bali tidak tergerus oleh Arogansi Pariwisata. Kedepan perlu kembali mengganugkan konsep Ajeg Bali dalam meniti jalan panjang senbuah bentuk eksistensi Adat dan Budaya Bali dalam menghadapi euphoria Globalisasi. Salah satu adat Bali yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang komprehensi adalah adanya konsep Tri Hita Karana. Sudah menjadi dalil yang umum di kalangan masyarakat Bali bahwa dalam kehidupan ini ada 3 panduan pokok dalam menjalani kehidupan agar serasi, selaras dan seimbang. Ketiga panduan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Tri Hita Karana, adapun ketiga landasan tersebut yaitu:

1.“Parhyangan” adalah Keserasian kehidupan antara manusia dengan kepada Tuhan. Implementasi dari poin ini adalah dengan berdirinya ribuan pura di Pulau Dewata ini. Sebagai sebuah persembahan terbaik kepada Tuhan yang Maha Esa manusia.

2.“Pawongan” adalah keserasian kehidupan antara manusia dengan sesama manusia. Implementasi dari poin kedua ini adalah dengan dibentuknya berbagai macam perkumpulan atau komunitas seperti yang dikenal dengan istilah Banjar, Kawitan, Sekehe, dan Pauman.

3.“Palemahan” adalah sebuah keserasian kehidupan antara manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya sebagai tempat untuk hidup sehari-hari. Implementasi dari poin ketiga ini adalah dengan adanya sakralisasi terhadap hutan-hutan, perlindungan terhadap lahan persawahan yang sering dikenal dengan istilah Subak bahkan di daerah Bali selatan, tepatnya di Kabupaten Tabanan sebagai Lumbung Padinya pulau Bali. Perlindungan terhadap sawah (Subak) ini dilegalitaskan ke dalam bentuk Perda Nomor 9 Tahun 2005 tentang perlindungan Subak Jatiluwih sebagai aset lingkungan dan pelestarian budaya Bali.

B.Penutup

Sudah saatnya landasan berfikir yang semacam ini dikembangkan kembali dalam membangun Bali sebagai Pulau yang menyimpan banyak pesona dan keindaham budaya di dalamnya. Bali, pulau yang terkenal di mancanegara dengan sebutan Pulau Seribu Pura “Island With The Thousand Temple” sudah menjadi sebutan yang tidak asing di kalangan masyarakat Internasional. Dan karena hal itulah Bali memiliki keindahan yang tak dimiliki oleh pulau-pulau lainya di Indonesia, apalagi Bali masih murni dengan keaslian budayanya. Namun, seiring dengan berkembangnya industri pariwisata di Bali yang telah menjadi daya pikat cadangan devisa non-migas terbesar dan sebagai pembuka lapangan pekerjaan terbesar. Potensi pariwisata Bali yang sangat melimpah ini tidak diiringi dengan Rasa Nasionalisme para generasi mudanya. Sudah sangat banyak lahan-lahan pertanian di Bali yang beralih fungsi menjadi Villa atau bahkan Hotel yang selain dapat merusak lingkungan akibat struktur tanah yang tidak seimbang, juga kepemilikan dari daerah-daerah strategis tersebut dikuasai oleh para investor asing. Hasil penelitian Sedana dan kawan-kawan (2003) mengenai kondisi subak di Kota Denpasar, misalnya, menunjukkan empat buah subak di Denpasar punah dalam kurun waktu 10 tahun. Selama satu dasawarsa itu pula luas lahan produktif di Denpasar berkurang sekitar 50,35 persen dari semula 5.753, 43 hektar tahun 1993 menjadi tersisa 2.856 hektar tahun 2003. Ini berarti, hanya dalam 10 tahun, 2.898 hektar sawah di Kota Denpasar telah beralih fungsi ke sektor nonpertanian.

Banyak daerah pertanian yang alih fungsi menjadi villa atau hotel akibat tanah-tanah tersebut dijual oleh masyarakat Bali karena tergiur dengan kepentingan pragmatis yaitu harga jual tanah yang melambung tinggi hingga milyaran rupiah per are nya. Sebagai contoh nilai jual se-are tanah di daerah Legian-Kuta rata-rata di atas 1 Milyard. Didorong oleh kepentingan sesaat banyak masyarakat Bali yang mengalihfungsikan tanahnya untuk dijual kepada investor yang kemudian dibangun menjadi Hotel-hotel yang kepemilikannya dikuasai oleh asing. “Degradasi Nasionalisme” yang menyelimuti generasi muda saat inilah yang menjadi inspirasi dalam penulisan esay ini.



Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun