Mohon tunggu...
ardhilarfq
ardhilarfq Mohon Tunggu... Uin Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

9 Maret 2025   18:50 Diperbarui: 11 Maret 2025   08:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Saiful Millah, M.Ag. dan Asep saepudin Jahar, M.A., Ph.D.

Identitas Buku

Judul Buku : Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Penulis : Saiful Millah, M.Ag. dan Asep saepudin Jahar, M.A., Ph.D.

Penerbit : Amzah 

Kota : Jakarta 

Tahun Terbit : 2021

Buku berjudul Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia membahas berbagai persoalan dalam hukum keluarga dengan pendekatan sosial hukum. Di dalamnya, dikaji hukum keluarga sebagaimana yang dibahas dalam fiqh klasik dari beberapa mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Para Imam Mazhab telah menguraikan berbagai aspek terkait ibadah dan sosial berdasarkan konteks tempat, waktu, serta kondisi yang berlaku. Selain itu, buku ini menyajikan pembahasan hukum keluarga secara komprehensif dengan perspektif sosial hukum. Buku ini juga bermanfaat bagi akademisi dan praktisi hukum di lingkungan peradilan agama, termasuk hakim, pengacara, maupun mediator

Pada bab 1 dijelaskan bahwa terdapat dualisme dalam penerapan hukum, yakni antara penggunaan fiqh mazhab atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang sama di masyarakat. Akibatnya, satu kasus yang serupa dapat menghasilkan keputusan berbeda karena perbedaan dalam rujukan hukum yang digunakan. Contoh dari dualisme ini terlihat pada kasus di KUA Sewon dan KUA Kotagede, Yogyakarta, terkait wali nikah bagi seorang anak perempuan yang diduga lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan orang tuanya. Perbedaan dalam putusan hukum semacam ini menimbulkan kebingungan dan kegelisahan di kalangan pakar hukum Islam, yang khawatir bahwa ketidaksepakatan tersebut dapat melemahkan hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, mereka berupaya merumuskan suatu aturan hukum yang dapat menjadi pedoman seragam dalam menyelesaikan permasalahan sosial. 

Pada bab 2 dijelaskan mengenai fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang pada dasarnya merupakan produk ijtihad manusia dengan tujuan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Keduanya bukan bagian dari syariat Islam secara langsung, melainkan bersifat relatif dan tidak mutlak. Fiqh dan KHI tidak bersifat mengikat serta dapat mengalami perubahan sesuai dengan kondisi yang berkembang. Bahkan, keduanya menjadi bagian dari khazanah Islam yang mencerminkan fleksibilitas hukum Islam dalam merespons beragam situasi masyarakat muslim yang membutuhkan keputusan hukum. Sementara itu, perbedaan pandangan antara fiqh dan KHI dibahas lebih lanjut pada bab 3, khususnya terkait pernikahan wanita yang hamil akibat zina beserta implikasi hukumnya, serta keabsahan talak yang dijatuhkan di luar sidang pengadilan agama.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53, seorang wanita yang hamil akibat zina hanya dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya, seolah-olah tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan pria lain. Sementara itu, dalam fiqh, khususnya menurut mazhab Hanafi dan Syafi'i, seorang wanita yang hamil karena zina diperbolehkan menikah dengan pria yang tidak menghamilinya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa janin yang berasal dari perzinaan tidak memiliki status kehormatan, sehingga perbuatan zina yang hukumnya haram tidak dapat menjadi penghalang bagi pernikahan, yang pada dasarnya diperbolehkan. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa wanita hamil karena zina yang ingin menikah harus dalam keadaan tidak terikat perkawinan dengan pria lain, baik masih perawan maupun berstatus janda.

Adapun masalah berikutnya yaitu dualisme antara fiqh dan KHI mengenai persoalan nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan wanita hamil karena zina. Fiqh memberi Batasan waktu kelahiran anak minimal enam bulan dari akad nikah orang tuannya maka anak dapat dinasabkan kepada lelaki yang menikahi ibunya. Apabila kurang dari batas minimal tersebut maka anak dinasabkan kepada ibunya. Sedangkan KHI tidak meberikan batas waktu. Prinsipnya adalah jika pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina sudah dianggap sah maka anak yang dilahirkan itupun menjadi sah untuk dinasabkan kepada lelaki yang menikahi ibunya. Karena itulah, menurut KHI lelaki yang boleh menikahi wanita yang hamil karena zina tadi adalah lelaki yang menghamilinya, sehingga nasab anak dapat disambungkan dengan lelaki yang menanam benih di Rahim ibunya, walaupun hal itu terjadi di luar atau sebelum akad nikah. Disinilah letak perbedaan antara fiqh dan KHI yang sulit di satukan. 

Persoalan talak yang diucapkan oleh suami di luar sidang pengadilan agama menimbulkan perbedaan pandangan antara fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut fiqh, talak tetap dianggap sah meskipun tidak disampaikan di hadapan pengadilan. Sementara itu, KHI berpendapat bahwa talak yang diucapkan di luar sidang pengadilan tidak memiliki keabsahan hukum.

Perbedaan ini dapat menimbulkan dampak yang cukup serius. Jika seorang suami telah berkali-kali mengucapkan talak di luar pengadilan, lalu kasusnya diajukan ke pengadilan agama, maka pengadilan hanya akan mengakui talak tersebut satu kali atau menganggapnya sebagai talak raj'i. Hal ini terjadi karena pengadilan tidak mengakui talak yang diucapkan di luar sidang, sehingga dianggap seolah-olah talak tersebut tidak pernah terjadi. Konsekuensinya, pengadilan agama masih membolehkan pasangan suami istri untuk menjalani hubungan pernikahan, termasuk hubungan suami istri. Namun, menurut fiqh, hubungan tersebut sudah tidak diperbolehkan karena talak yang sebelumnya diucapkan tetap dianggap sah. Perbedaan pandangan ini dapat menimbulkan kebingungan dan berdampak pada ketidaksesuaian dalam penerapan hukum terkait talak dalam masyarakat.

Pada bab 4 Eksistensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) di masyarakat masih kurang terasa dibandingkan dengan fiqh mazhab, salah satunya karena minimnya sosialisasi KHI kepada ulama dan kyai yang berperan di tengah masyarakat. Beberapa aturan dalam KHI juga dianggap bertentangan dengan fiqh mazhab yang telah lama menjadi pegangan utama, sehingga fiqh masih lebih dominan dalam penyelesaian kasus-kasus keagamaan. Namun, di lingkungan pengadilan agama, KHI telah menjadi rujukan utama dalam menangani perkara, meskipun fiqh mazhab tetap digunakan sebagai bahan perbandingan. Selain itu, hakim di pengadilan agama memiliki wewenang untuk melakukan ijtihad atau penemuan hukum baru jika baik fiqh maupun KHI tidak memberikan keputusan yang dirasa adil, sehingga keputusan yang baru dihasilkan tetap mengutamakan nilai kemaslahatan bagi masyarakat.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi acuan utama dalam pengadilan agama, sehingga tetap memegang peran strategis dalam penetapan hukum, khususnya di lingkungan peradilan agama. Namun, dalam penerapannya, terdapat perbedaan mendasar antara fiqh dan KHI dalam menangani suatu perkara yang sama. Jika dalam suatu kasus kita lebih meyakini kebenaran hukum fiqh yang terdapat dalam KHI dibandingkan dengan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh mazhab, maka kesan adanya "dualisme" hukum menjadi hilang karena telah dipilih satu keputusan hukum yang dianggap lebih maslahat dan meyakinkan.

Untuk mengurangi perbedaan pandangan antara fiqh dan KHI, perlu dilakukan kajian ulang serta evaluasi terhadap beberapa pasal dalam KHI yang masih dianggap kontroversial. Proses ini harus melibatkan para ahli di bidang hukum Islam agar hasilnya lebih komprehensif. Sementara itu, beberapa aturan dalam fiqh mazhab tidak dapat dievaluasi kembali karena para imam mazhab telah tiada. Oleh karena itu, langkah yang dapat dilakukan adalah memberikan penjelasan yang lebih aplikatif mengenai aturan dalam fiqh mazhab tersebut, dengan menyesuaikannya dengan kondisi zaman saat ini.

Oleh Ardhila Riqqah Fadhilah Q (232121259) HKI 4B

  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun