Mohon tunggu...
Ardha Kesuma
Ardha Kesuma Mohon Tunggu... Relawan - sesukasukaku

Ardha Kesuma, perempuan pencerita di Ruang Renjana Podcast yang selalu jatuh hati pada Ibu Bumi. Berupaya menerapkan gaya hidup minimalis, tidak memakan olahan dari binatang, selalu menghabiskan isi piringnya, mengumpulkan sampah plastik pribadi untuk dibawa ke tempat pengolahan sampah. Sejak 2017 merawat kehidupan melalui gerakan lingkungan dan literasi. Untuk keperluan terkait tulis-menulis, lingkungan, dan literasi, bisa menghubungi via email ardhakesuma@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gedung Sekolah Ditutup, Aku Belajar di Atas Bak Truk

1 Juli 2021   12:28 Diperbarui: 1 Juli 2021   13:44 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluruh penjuru dunia tentu sudah sama-sama tau bahwa satu tahun belakangan ini gedung-gedung sekolah ditutup sebagai bentuk mitigasi bencana Pandemi Virus Corona. Tempat yang biasanya selalu ramai sepanjang pagi hingga jelang sore hari mendadak diharuskan menjadi sepi. Tidak sedikit para pelajar yang menjadi rindu bertemu dengan kawan seperjuangan.

Terlepas dari beragam sudut pandang mengenai pembelajaran dari rumah yang diutarakan oleh para pakar, momentum sekolah tanpa gedung sekolah tersebut nyatanya juga bisa dinikmati oleh anak-anak usia dini. Ada anak-anak yang bisa bersekolah online bersama orang tuanya yang juga bekerja dari rumah, dimana mereka menjadi punya quality time yang lebih panjang. Ada anak-anak yang memanfaatkan gerakan karang taruna dan mahasiswa untuk mendampingi mereka belajar di posko-posko yang sengaja didirikan pada kampung-kampung yang membutuhkan. Tak ingin kalah untuk menikmati momentum "tak dapat pergi ke sekolahan", anak-anak usia dini di pesisir Parangkusumo Yogyakarta juga punya cara uniknya sendiri.

Adalah Erin, Maria, Margareta, Sigit, dan Wahyu, juga beberapa teman-teman seusianya yang tinggal di perkampungan padat penduduk, Kali Mati, memanfaatkan bak truk sebagai pengganti ruang kelas. Mereka meminjam bak truk pengangkut kayu yang diparkirkan oleh tetangganya sewaktu wirausaha beliau tidak sedang beroperasional. Desain ruang kelas bak truk tersebut dengan membuka pintu samping bak, dan menambahkan tali pada bagian atas untuk meletakkan tikar dan kain sebagai atapnya. Aktivitas belajar di atas bak truk awalnya karena coba-coba cara menyenangkan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka, tetapi seiring berjalannya waktu mereka merasa lebih gembira dengan konsep belajar tersebut.

Walaupun tidak dilakukan setiap hari, atau hanya saat truk sedang tidak bekerja, mereka tetap menikmati sebagai upaya mengobati kerinduannya terhadap fasilitas gedung sekolah. Sebagai penduduk di daerah padat penduduk, keresahan belajar di rumah yang cenderung sempit dan banyak aktivitas juga pastinya menjadi hal yang dimaklumi jika anak-anak seperti mereka mendambakan ruang belajar yang luas, lega, dan nyaman.

Hari-hari kenaikan kelas yang dijalani dengan pembagian jam masuk sekolah juga masih menjadi tantangan bagi murid untuk tetap menjaga diri tidak bertemu dengan teman-temannya yang berasal dari wilayah lain. Hal itu juga yang menjadikan alasan kenapa belajar di atas bak truk masih menjadi cara favorit anak-anak penduduk Kali Mati dalam berproses menjalani kehidupan di Semestanya pendidikan saat ini.

Selain belajar bersama di atas bak truk milih tetangga, sebagian besar anak-anak usia dini di Kali Mati Pesisir Parangkusumo juga rutin berkunjung ke Garduaction, yang tempatnya berdampingan dengan kampung mereka. Tempat pengelolaan sampah berbasis edukasi tersebut setiap hari Minggu sengaja mendatangkan pendamping dari kalangan praktisi dan mahasiswa untuk mengajak anak-anak belajar sambil bermain. Konsep pembelajarannya tentu berbeda dengan yang dilakukan anak-anak di atas bak truk dimana mereka cenderung mengerjakan tugas bersama, sedangkan di Garduaction mereka akan difasilitasi konsep belajar kontekstual. Seperti misalnya anak-anak diberi pengetahuan tentang tari-tarian sekaligus praktek menari, juga belajar mengenai batik sekaligus mempraktekan salah satu metode membatik dengan kain dan pewarna, dan pastinya anak-anak juga didampingi untuk memanfaatkan sampah bekas dalam proses berkegiatan sebagai bentuk edukasi mengenai reduce, reuse, dan recycle.

Di Garduaction yang nama tempatnya diambil dari kependekan Garbage Care and Education tersebut, anak-anak usia dini di Pesisir Parangkusumo juga difasilitasi makanan yang bernutrisi. Sebelum belajar, anak-anak harus diwajibkan makan nasi, sayur, lauk protein hewani, dan minum susu yang disediakan oleh dapur umum Garduaction. Harapannya, saat perut sudah kenyang, anak-anak dapat belajar dengan senang, riang, dan tenang.

***

Situasi Pesisir Parangkusumo sejak awal 2021 bisa dikatakan sebagai sebuah potret ruang belajar yang sederhana dan -semoga- cukup bermakna. Setiap keberlangsungan aktivitas di sana semoga menjadikan manfaat dan menginspirasi, baik dari sisi belajar bersama di Garduaction maupun kehidupan anak-anak di Kali Mati yang melalui hari-hari mengerjakan tugas sekolah di atas bak truk.

Pastinya pula belajar di atas bak truk juga mengingatkan kita kepada salah satu sekolahan di Jepang yang ruang kelasnya menggunakan bekas gerbong kereta. Dari buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela pendidikan kita sebaiknya berefleksi bahwa bangunan sekolahan tidak melulu berbentuk gedung yang terbuat dari bata dan semen, melainkan sebuah tempat yang tidak biasa, tetap nyaman, dan menarik perhatian anak-anak, khususnya yang usia dini. Sebagaimana pula mengenai sekolah inklusi yang dapat menerima perbedaan latar belakang anak didiknya dan sistem pembelajaran kontekstual yang digambarkan oleh sang penulis, Tetsuko Kuroyanagi, pendidikan di Indonesia barangkali juga dapat menerapkan hal serupa. Situasi di sekolah Tomoe Gakuen yang ramah anak adalah gambaran yang menjadi kebutuhan di sekolah-sekolah Indonesia saat ini.

Di luar sana tentu banyak anak-anak didik yang juga kreatif dalam merayakan hari-hari sekolahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Si Kembar Maria-Margareta dan kawan-kawannya di pesisir selatan Yogyakarta. Semoga cara-cara bocah cilik calon pembangun bangsa tersebut juga mendapatkan apresiasi terbaik dan menginspirasi para seniornya untuk membuat sebuah perubahan baik, khususnya bagi pendidikan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun