Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Catatan Ketenagakerjaan Jakarta

23 Oktober 2019   09:03 Diperbarui: 23 Oktober 2019   09:15 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja. (thinkstock photo)

Catatan ini adalah bagian dari tulisan kami sebelumnya yang membahas mengenai kemiskinan. Kemiskinan di Jakarta berhasil ditekan ke titik terendah dan konsisten mengalami penurunan selama dua tahun terakhir. Orang miskin di Jakarta pada tahun 2019 kini 366 ribu orang atau hanya 3,47%.

Salah satu indikator yang berhubungan langsung dengan kemiskinan adalah pengangguran atau penyediaan lapangan kerja (Todaro, 2000). Menurut banyak penelitian jika pengangguran berhasil ditekan maka kemiskinan juga akan mengikutinya.

Pengangguran merupakan salah satu bagian dari perhatian Gubernur Anies Baswedan saat berkampanye pada tahun 2017 lalu. Penciptaan lapangan kerja dalam bentuk wirausaha baru ditargetkan bisa menurunkan pengangguran mencapai 200 ribu  orang. Pengangguran pada tahun 2017 yang mencapai 5,36% atau 293 ribu adalah masalah tersendiri yang harus ditekan ke titik terendah.

Dua tahun kepemimpinan Anies, kinerjanya pada sisi ketenagakerjaan sebenarnya perlu mendapat apresiasi cukup besar. Di mana dua tahun berturut-turut berhasil memperoleh penghargaan dengan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) terbaik dari Kementerian Ketenagakerjaan.

Bagaimana kondisi ketenagakerjaan atau pengangguran di Jakarta perlu kita lihat potret yang objektif dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS.

Pengangguran penduduk di Jakarta sebenanrnya cukup kompleks karena padatnya jumlah penduduk. Hal itu diperparah dengan pendatang yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Para pendatang itu tentunya para pengadu nasib yang belum tentu memiliki skill yang mumpuni untuk bekerja di Jakarta. Diperkirakan 60-70 ribu pendatang baru ke Jakarta untuk tahun 2019 saja (Dinsos DKI Jakarta).

Melihat pengangguran Jakarta yang menyentuh angka 5,13% pada 2019 sebenarnya masih di atas rata-rata kemiskinan nasional (5,01%). Namun, angka ini cukup konsisten menurun dari tahun 2017 dan 2018 yang masing-masing 5,36% dan 5,34%. Proporsi jika dilihat dari jenis kelamin 4,58% untuk laki-laki dan 5,94% untuk perempuan.

Persentase tersebut (5,13) diperoleh dari jumlah yang menganggur penduduk 15 tahun ke atas yang merupakan angkatan kerja yang mencapai 5,4 juta orang. Ada pun penduduk yang bukan angkatan kerja mencapai 2,4 juta orang. Bukan angkatan kerja adalah penduduk yang sedang sekolah, mengurus rumah tangga, atau lainnya yang bukan termasuk kategori bekerja.

Dilihat dari pendidikan para penganggur, didominasi oleh lulusan SMK yang mencapai 7,82% atau meningkat 0,66 poin dari tahun sebelumnya. Hal ini tentu menjadi masalah tersendiri di mana seharusnya para tamatan SMK diharapkan bisa langsung mandiri dan siap kerja dengan sistem pedidikan yang siap kerja. Mungkin perlu dilakukan evaluasi mengenai sistem pendidikan di SMK untuk penyerapan tenaga kerja yang maksimal.

Tingkat pengangguran terbuka Jakarta (grafis pribadi)
Tingkat pengangguran terbuka Jakarta (grafis pribadi)
Selanjutnya, persentase tertinggi penganggur tamatan SMA dan universitas masing-masing mencapai 6,31% dan 5,04%. Berbanding terbalik dengan lulusan SD dan SMP yang persentasenya terendah masing-masing 3,39% dan 2,75%. 

Hal ini diyakini karena orang dengan pendidikan rendah cenderung tidak pilih-pilih pekerjaan, meski sebagai buruh lepas atau serabutan. Berbeda dengan lulusan SMA ke atas atau universitas yang akan lebih memilih pekerjaan. 

Tentu masih melekat diingatan beberapa saat lalu viral seorang lulusan universitas ternama yang menolak gaji  Rp8 juta karena gengsi.

Dilihat dari lapangan kerja utama, sektor yang paling dominan adalah perdagangan yang mencapai 25,59%. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sektor ini sangat membanjiri Jakarta. Sampai meluber ke badan-badan jalan. 

Salah satu icon Jakarta adalah Tanah Abang yang disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, tentu diketahui bersama minmarket yang selalu berdampingan pada pinggir-pinggir jalan. Belum lagi perdagangan rumahan yang menjamur dijajakan lewat media online.

Sektor terbesar selanjutnya adalah akomodasi dan makan minum (13,95%) dan industri pengolahan yang mencapai 12,91%. Sektor-sektor ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya dari masing-masing 13,53% dan 11,34%.

Hal ini menggambarkan Jakarta yang memang dari struktur perekonomian begitu ditopang oleh 3 sektor tersebut. Sangat bebanding terbalik dengan sebagian besar daerah lain di Indonesia yang masih bergantung kepada pertanian dan pertambangan. Sektor pertanian dan pertambangan sendiri di Jakarta hanya menyumbang 0,97% pekerja.

Sesuatu yang cukup positif juga dari segi status pekerjaan utama sebagai buruh/karyawan/pegawai cenderung mengalami penurunan. Tahun 2017 64,21% menurun menjadi 63,40% pada 2018 serta 61,00% pada 2019. 

Sebaliknya status sebagai berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tetap konsisten mengalami peningkatan 2 tahun terakhir. Nilainya masing-masing 16,15% menjadi 22,59% dan 3,39% menjadi 4,43%.

Hal ini menggambarkan bahwa penyediaan lapangan pekerjaan lebih berfokus kepada wirausaha yang lebih memungkinkan untuk bisa mandiri. Di mana karyawan masih relatif terancam pemutusan hubungan kerja kapan saja. Meski hal ini masih perlu kajian mendalam mengenai struktur sektor pekerjaan dilihat dari statusnya.

Pekerja juga bisa dilihat berdasarkan kegiatan fomal dan informal. Dikatakan formal jika dalam berusaha dibantu buruh, ada pun selainnya dikatakan informal. Pekerja formal di Jakarta mencapai 65,43%, sisanya pada sektor informal. Hal ini cukup jauh di atas rata-rata nasional di mana sektor formal hanya mencapai 42,73%.

Sesuatu yang cukup positif juga di Jakarta 2 tahun terakhir adalah pekerja yang bekerja di atas jam normal (pekerja penuh waktu, di atas 35 jam per pekan) cenderung mengalami peningkatan dari 84,35% pada 2017 menjadi 87,43% pada 2019.

Indikator utama yang dianggap berhubungan langsung dengan ketenagakerjaan adalah rasio ketergantungan penduduk (dependency ratio). Dependency ratio diartikan sebagai jumlah penduduk usia tidak produktif dibandingkan dengan usia produktif. Dependency ratio yang mencapai titik terendah diartikan sebagai bonus demografi. Di mana penduduk usia produktif mencapai jumlah maksimal. 

Dependency ratio Jakarta pada hasil sensus penduduk tahun 2010 merupakan yang terendah di Indonesia (37,4%). Artinya, setiap 100 orang usia 15-64 tahun (produktif) hanya menanggung 38 orang usia (tidak produktif). 

Bonus demografi ini tentu akan menjadi masalah besar kalau kebijakan tidak dibuat untuk pemberdayaan usia produktif tersebut. Angka pengangguran harus terus ditekan guna mencapai "the real" bonus demografi. Kalau tidak maka bonus demografi akan menjadi fatamorgana semata. 

Hasil nyata capaian masalah kependudukan di seluruh Indonesia (termasuk di Jakarta) akan kembali dipotret secara menyeluruh pada tahun 2020. Termasuk ketenagakerjaan dan informasi terkini "dependency ratio". 

BPS akan #MencatatIndonesia melalui sensus mandiri secara online pada Bulan Februari-Maret dan dilanjutkan sensus secara "door to door" pada Juli 2020.

Demikianlah beberapa catatan ketenagakerjaan di Jakarta tahun 2019 dan progresnya 2 tahun terakhir. Masih belum maksimal tetapi sinyal positif itu ada. Kita perlu memberi dukungan dan apresiasi terhadap program yang berhasil dan tetap memberi masukan terhadap berbagai kekurangan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun