Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Subak dan Pertanian Padi di Bali

4 Mei 2019   09:12 Diperbarui: 4 Mei 2019   09:18 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu hamparan sawah di Bali-dokpri

Menurut riset dan pantauan awal di lapangan yang dilakukan oleh mahasiswa Politeknik Statistika (Polstat) STIS, sebagian besar lahan yang sebelumnya tercatat sebagai sawah menjadi perumahan, tempat akomodasi (vila dan tempat wisata), industri, dan lainnya.

 Jika hal ini terus berlanjut maka lahan sawah akan semakin menipis dan angan swasembada pangan akan semakin sulit tercapai.

Permasalahan lain adalah penurunan jumlah petani dan regenerasi petani yang tidak berjalan dengan baik, pemuda di Bali cenderung tidak mau menjadi petani. Jumlah rumah tangga pertanian padi pada tahun 2018 menurut Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) adalah sekitar 134.860 atau menurun jika dibandingkan tahun 2013 yang angkanya mencapai 147.887 rumah tangga. 

Usia petani di Bali didominasi oleh orang tua. Menurut Survei Ongkos Usaha Tani 2017 (SOUT2017) petani padi di Bali 81,59 persen berusia di atas 45 tahun, yang berusia di bawah 30 tahun hanya berjumlah 0,58 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa para pemuda jarang sekali yang mau menjadi petani.

Subak sebenarnya memiliki aturan yang mengatur anggota mengenai penanaman padi yang disebut awig-awig. Awig-awig mengatur anggota subak agar bisa bersinergi dengan alam, manusia, dan kepada Sang Pencipta. Mengatur agar tidak sembarangan mengalihfungsikan lahan menjadi perkebunan tanaman lain seperti bunga, pisang, bahkan bangunan seperti vila. 

Subak seyogianya tidak bertentangan dengan industrialisasi dan perkembangan zaman. Seharusnya dengan adanya subak bisa menjaga eksistenssi lahan sawah di Bali.

Namun, kenyataannya tuntutan untuk melangkah lebih jauh bagi para petani tidak bisa membendung mereka untuk mencari penghidupan yang lebih menjanjikan. Benar saja bahwa selama ini pertanian padi tidak cukup memberikan jaminan perekonomian bagi keluarga petani. 

Nilai tukar petani (NTP) yang kecil yakni di bawah 100 (99,40 pada Desember 2018) membuat petani pangan (utamanya padi) cenderung untung sedikit bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.

Jika dilihat dari survei struktur ongkos usaha tani (SOUT) tahun 2017 petani masih sangat terbebani dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti bibit/benih, pestisida, alsintan, pembiayaan, dan lainnya. 

Sekitar 63,81 persen rumah tangga mengaku tidak menerima bantuan bibit/benih, 93,56 persen mengaku tidak menerima bantuan pestisida, 97,96 persen mengaku tidak menerima bantuan alsintan, serta 97,62 persen mengaku tidak menerima bantuan pembiayaan.

Data di atas juga seiring dengan temuan awal riset yang dilakukan oleh  mahasiswa Polstat STIS. Saat ini (sejak 18 Februari hingga 28 Februari) mahasiswa Polstat STIS yang berjumlah sekitar 516 orang sedang melakukan riset tentang pertanian padi di Bali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun