Mohon tunggu...
ARCITA DOA SAFITRI
ARCITA DOA SAFITRI Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Financial

Apakah Globalisasi Masih Relevan bagi Negara Berkembang?

13 April 2025   20:32 Diperbarui: 13 April 2025   20:40 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi selama ini diyakini sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, bagi negara berkembang, manfaat yang dijanjikan tak selalu sebanding dengan realitas di lapangan. Kesenjangan ekonomi, ketergantungan struktural, dan arus investasi yang timpang justru menimbulkan pertanyaan: apakah globalisasi masih relevan untuk mereka?

Lebih dari tiga dekade sejak gelombang besar globalisasi melanda dunia, pertanyaan kritis yang kini mengemuka adalah: apakah fenomena ini benar-benar telah membawa keuntungan yang dijanjikan bagi negara-negara berkembang? Pada awalnya, globalisasi dipandang sebagai kendaraan ampuh yang akan mengangkat jutaan orang dari kemiskinan dan mempersempit kesenjangan ekonomi global. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan narasi yang lebih kompleks dan sering kali bertentangan dengan janji-janji tersebut. World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa 10 persen penduduk terkaya dunia kini menguasai lebih dari 76 persen kekayaan global. Sementara itu, 50 persen penduduk termiskin hanya mengakses 2 persen kekayaan tersebut. Angka-angka ini menunjukkan bahwa globalisasi tak dinikmati secara merata.

Siapa yang Diuntungkan?

Globalisasi telah membuka pasar global bagi negara-negara berkembang, memungkinkan mereka mengakses investasi asing, teknologi baru, dan memperluas ekspor. Tetapi, di balik peluang ini, terdapat ketimpangan struktural yang semakin menganga. Negara-negara maju memanen keuntungan dari jaringan perdagangan dan teknologi tinggi. Mereka punya keunggulan infrastruktur, riset, dan kekuatan politik global. Produk mereka menguasai pasar dunia, dari mikroprosesor hingga perangkat lunak. Sebaliknya, banyak negara berkembang masih terjebak dalam pola ekonomi lama: mengekspor bahan mentah, mengimpor barang jadi. Indonesia, misalnya, masih mengandalkan ekspor komoditas seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel. Ketika harga komoditas anjlok, ekonomi domestik pun ikut terpukul.

Integrasi ke dalam ekonomi global telah menciptakan paradoks bagi negara berkembang. Dalam konteks ini, globalisasi bukan jembatan menuju kesejahteraan, melainkan jebakan ketergantungan. Profesor Dani Rodrik dari Harvard bahkan menyebut bahwa "hiperglobalisasi" justru bisa menghambat pembangunan institusi ekonomi lokal di negara-negara berkembang (Rodrik, 2011, "The Globalization Paradox"). Di satu sisi, mereka dituntut untuk membuka pasar domestik, mengurangi tarif, dan mengadopsi kebijakan ekonomi liberal. Di sisi lain, negara-negara maju sering kali mempertahankan proteksi terselubung untuk industri strategis mereka, memberikan subsidi besar kepada produsen domestik, dan menerapkan standar ketat yang sulit dipenuhi oleh eksportir dari negara berkembang. Ketidakseimbangan kekuatan dalam perundingan perdagangan internasional juga menyebabkan kesepakatan yang lebih menguntungkan negara maju daripada negara berkembang.

Persoalan mendasar dari globalisasi terletak pada bagaimana integrasi ekonomi global sering kali tidak disertai dengan perubahan struktural yang memadai di negara berkembang. Alih-alih mendorong transformasi menuju aktivitas ekonomi bernilai tambah tinggi, banyak negara berkembang justru terjebak dalam peran sebagai pemasok bahan mentah atau barang manufaktur bernilai tambah rendah. Kondisi ini membuat mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan ketergantungan pada pasar eksternal.

Investasi Asing: Berkah atau Beban?

Ketergantungan pada modal asing juga menjadi dilema bagi negara berkembang. Investasi asing sering dipuji sebagai motor pertumbuhan. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Banyak investor asing masuk ke negara berkembang hanya karena biaya produksi murah dan regulasi yang longgar. Investasi asing langsung memang membawa modal dan teknologi yang dibutuhkan, tetapi seringkali disertai dengan kontrol eksternal atas sumber daya strategis, repatriasi keuntungan ke negara asal, dan penghindaran pajak yang canggih. Akibatnya, negara berkembang kehilangan potensi pendapatan pajak yang berharga untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik esensial.

Dinamika tenaga kerja global juga menghadirkan tantangan tersendiri. Meskipun globalisasi telah menciptakan lapangan kerja baru di sektor manufaktur dan jasa di negara berkembang, kualitas pekerjaan tersebut sering kali memprihatinkan. Upah rendah, kondisi kerja buruk, dan penindasan hak-hak pekerja menjadi fenomena umum dalam upaya menarik investasi asing. Sementara itu, teknologi otomatisasi yang berkembang pesat mengancam akan menghilangkan keunggulan komparatif negara berkembang dalam hal tenaga kerja murah, sebelum mereka sempat naik tangga industrialisasi.

Dampak Ganda Globalisasi: Ketergantungan Ekonomi dan Risiko Iklim

Krisis keuangan global 2008 dan pandemi COVID-19 telah semakin mengekspos kerentanan negara berkembang dalam sistem globalisasi. Ketika terjadi guncangan, negara maju memiliki kapasitas fiskal dan moneter yang jauh lebih besar untuk meredam dampaknya, sementara negara berkembang sering kali terpaksa bergantung pada bantuan luar negeri atau utang yang membebani. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan ketergantungan yang sulit diputus.

Isu keberlanjutan lingkungan dan perubahan iklim juga menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi negara berkembang. Dalam model globalisasi saat ini, negara-negara berkembang sering dipaksa untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka secara intensif untuk memenuhi permintaan global, dengan konsekuensi degradasi lingkungan yang parah. Ironisnya, merekalah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, meskipun kontribusi historis mereka terhadap emisi karbon global jauh lebih kecil dibandingkan negara maju.

Menuju Globalisasi yang Lebih Adil dan Inklusif

Apakah globalisasi bisa dibuat lebih adil? Jawabannya adalah bisa, tapi tidak otomatis. Butuh intervensi kebijakan yang berani dan keberanian politik dari negara berkembang untuk keluar dari jebakan ketergantungan. Namun, akan terlalu sederhana untuk menyimpulkan bahwa globalisasi hanya membawa kerugian bagi negara berkembang. Beberapa negara, terutama di Asia Timur, telah menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, globalisasi dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan dan transformasi ekonomi. China, Vietnam, dan beberapa negara lain telah berhasil menerapkan pendekatan bertahap dan terukur terhadap liberalisasi ekonomi, mempertahankan peran aktif negara dalam mengarahkan pembangunan, dan berinvestasi secara substansial dalam pengembangan kapabilitas domestik.

Kunci keberhasilan ini terletak pada kemampuan menavigasi arus globalisasi dengan kebijakan yang berfokus pada kepentingan nasional, bukan sekadar mengikuti resep liberalisasi yang digaungkan lembaga keuangan internasional. Negara-negara yang berhasil ini memiliki visi jangka panjang untuk pengembangan industri strategis, berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan infrastruktur, serta membangun kapasitas institusional yang kuat untuk mengelola tantangan kompleks dari integrasi global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun