Mohon tunggu...
Dr Akhmad Aflaha SE MM
Dr Akhmad Aflaha SE MM Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, penulis, dan praktisi pendidikan yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang pengembangan karakter, manajemen strategik, dan pemberdayaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tamparan di Sekolah: Disiplin yang Kehilangan Arah

15 Oktober 2025   05:50 Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:49 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Dr. Akhmad Aflaha, S.E., M.M.

Kasus yang menimpa Indra Lutfiana Putra (17), siswa kelas XII SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, kembali membuka luka lama dalam dunia pendidikan kita --- antara disiplin dan kekerasan, antara niat mendidik dan cara yang melukai.

Indra diduga ditampar oleh kepala sekolahnya, Dini Fitria, setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah pada Jumat (10/10). Tindakan itu kemudian memicu amarah orang tua Indra, yang menegaskan akan melaporkan peristiwa ini ke jalur hukum.

Sekilas, kasus ini tampak sederhana: murid melanggar aturan, guru bertindak tegas. Namun di baliknya, tersimpan persoalan yang jauh lebih kompleks: cara sekolah menanamkan disiplin di era yang serba sensitif ini.

Disiplin yang Salah Paham

Kita semua sepakat bahwa merokok di sekolah adalah pelanggaran serius. Tapi apakah tamparan masih bisa dibenarkan sebagai bentuk pendidikan karakter?

Ada garis tipis antara mendidik dengan tegas dan bertindak dengan kasar. Banyak pendidik masih terjebak pada paradigma lama: bahwa keras berarti berhasil, bahwa rasa sakit bisa menggantikan kesadaran.

Padahal, generasi hari ini hidup di dunia yang sangat berbeda. Mereka tumbuh dengan kesadaran hak asasi, keterbukaan informasi, dan keberanian untuk melapor. Maka ketika tindakan fisik digunakan sebagai "alat didik", bukan kesadaran yang tumbuh --- melainkan rasa dendam dan trauma.

Guru yang Tertekan, Sistem yang Kacau

Sebelum jari telunjuk menuding, kita juga perlu bertanya: mengapa seorang kepala sekolah sampai kehilangan kendali?

Bisa jadi tekanan sistem pendidikan yang serba administratif dan hasil akhir memicu stres. Guru dan kepala sekolah sering kali dipaksa mendidik karakter, tanpa diberikan ruang dan pelatihan emosional yang memadai.

Mereka dituntut tegas, tapi juga dilarang keras bersikap keras.

Akhirnya, banyak yang terseret dalam dilema antara menegakkan aturan dan menjaga batas kemanusiaan.

Anak yang Melanggar, Dewasa yang Lalai

Namun kritik juga perlu diarahkan ke arah lain: di mana peran orang tua?

Fenomena siswa merokok bukan hanya soal disiplin sekolah, tapi juga hasil dari pola asuh di rumah dan lingkungan sosial yang permisif.

Jika rumah tidak menjadi benteng nilai, maka sekolah akan selalu menjadi "medan perang moral" yang melelahkan.

Tamparan fisik memang salah, tapi pembiaran moral juga bentuk kekerasan --- hanya saja lebih halus dan panjang efeknya.

Menanamkan Disiplin Tanpa Kekerasan

Kita butuh paradigma baru: disiplin tanpa kekerasan.

Sekolah semestinya menjadi tempat belajar bukan hanya bagi siswa, tapi juga bagi guru --- tentang bagaimana mengelola emosi, memberi hukuman yang mendidik, dan menanamkan tanggung jawab tanpa merendahkan martabat anak.

Sanksi sosial, pembinaan karakter, tugas reflektif, atau dialog terbuka jauh lebih mendidik daripada tamparan yang menorehkan luka batin.

Penutup: Tamparan yang Membangunkan

Kasus Indra mungkin berakhir di kepolisian, tapi semestinya menjadi tamparan bagi kita semua.

Tamparan agar kita sadar bahwa dunia pendidikan sedang kehilangan sentuhan kasih.

Tamparan agar sekolah tidak hanya mengajarkan rumus dan larangan, tapi juga empati.

Dan tamparan agar orang tua, guru, dan negara sama-sama belajar --- bahwa pendidikan sejati tidak pernah lahir dari rasa takut, tapi dari kesadaran dan cinta.

"Didiklah anak-anakmu dengan kasih, 

karena zaman mereka bukan lagi zamanmu."

--- Ali bin Abi Thalib

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun