Beberapa hari terakhir, berseliweran foto menu makan yang diklaim bagian dari sebuah program bantuan. Menu itu sederhana sekali: nasi sejumput, sepotong pisang, sepotong kue, dua butir telur puyuh, dan sebungkus susu kotak. Jika ditotal, harganya disebut sekitar Rp8.000.
Sekilas, angka itu terlihat pas. Namun, ada sesuatu yang menggelitik. Benarkah sekadar “pas”? Ataukah ada yang tidak pernah benar-benar masuk hitungan: rasa kenyang, rasa amanah, rasa adil?
Bukan Soal 8 Ribu
Kalau urusan hitungan rupiah, mungkin banyak yang akan berkata: “Ah, itu sudah sesuai standar. Tidak ada yang salah.” Tapi publik justru bertanya:
Apakah menu sesederhana itu layak disebut program pemenuhan gizi?
Apakah penyedia merasa sudah menjalankan amanah hanya karena sesuai angka di kertas?
Apakah kita sedang mengajarkan anak-anak untuk terbiasa menerima “sekedarnya”?
Delapan ribu itu kecil, tetapi implikasi moralnya besar.
Kurang Ajar yang Dibiasakan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat praktik yang bisa disebut “kurang ajar”—bukan dalam arti kasar, tapi dalam makna pengkhianatan amanah. Lucunya, praktik itu tidak lagi tampak sebagai kesalahan individu. Ia berubah menjadi kebiasaan, bahkan sistem.