Dalam beberapa waktu terakhir, kita kembali menyaksikan fenomena aksi massa yang membara—secara simbolis, bahkan merenggut korban jiwa.
Ada kisah tragis yang membuat hati teriris: Affan, seorang driver ojek online, tewas terlindas kendaraan dalam situasi ricuh. Namanya kini menjadi simbol dari bagaimana aspirasi rakyat sering kali berujung pada korban, bukan solusi.
Affan bukan pejabat, bukan pula elite politik. Ia hanyalah seorang anak bangsa yang mencari nafkah dengan motor, mengantarkan penumpang, makanan, atau paket dari satu sudut kota ke sudut lainnya. Hidupnya sederhana, namun justru dari kesederhanaan itu kita melihat wajah mayoritas rakyat Indonesia: bekerja keras, tertib membayar pajak, tetapi tetap paling merasakan pahitnya kebijakan negara.
Akar Masalah: Pajak dan Representasi yang Dipertanyakan
Banyak rakyat merasa negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai “pemungut.” Pajak dikenakan di hampir semua aspek—dari kebutuhan primer hingga aktivitas digital.
Sementara itu, anggota DPR yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat sering tampil dengan citra yang paradoksal—menikmati kemewahan di tengah isu serius yang menghimpit masyarakat.
Ketika suara rakyat tak lagi didengar, kepercayaan pun terkikis, dan jalanan menjadi panggung ekspresi.
Data Realitas: Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara
Survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2025) mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap DPR RI relatif rendah dibandingkan lembaga lain:
DPR: hanya 7,7 % sangat percaya dan 63,3 % cukup percaya, sementara total sekitar 23–24 % tidak percaya / tidak percaya sama sekali .