Di negeri ini, ada dua hal yang selalu butuh diisi: perut rakyat dan kas negara. Bedanya, kalau perut rakyat lapar, mereka akan berusaha mencari makan. Tapi kalau kas negara lapar, rakyatlah yang dipanggil untuk membayar pajak.
Pajak adalah darah kehidupan negara, katanya. Tanpanya, roda pemerintahan akan macet. Itu benar. Tapi rakyat juga punya darah kehidupannya sendiri: nasi di piring, lauk di meja, dan kebutuhan pokok yang terjangkau.
Masalahnya, perut dan kas ini sering tidak lapar di waktu yang sama, dan tidak kenyang di waktu yang sama pula. Kas negara bisa saja gemuk dari pajak, sementara sebagian perut rakyat masih kempis karena harga-harga yang terus merangkak.
Pertanyaannya sederhana: kenapa ketika rakyat lapar, negara jarang ikut merasa lapar?
Pajak Tidak Mengenal Musim Lapar
Yang unik dari pajak adalah sifatnya yang konsisten: ia tetap dipungut meski ekonomi lesu, meski rakyat sedang sulit. Perut rakyat mungkin lapar, tapi tagihan pajak tetap datang. Dalam kacamata fiskal, itu wajar. Negara tidak bisa berhenti membiayai diri. Namun dalam kacamata sosial, ini bisa memicu rasa ketidakadilan jika pajak yang dipungut tidak dirasakan manfaatnya secara nyata.
Perut: Indikator Kesejahteraan yang Paling Jujur
Tidak semua rakyat memahami APBN, neraca pembayaran, atau defisit fiskal. Tapi semua rakyat tahu rasanya lapar. Perut adalah indikator kesejahteraan paling jujur. Jika rakyat membayar pajak dengan patuh, tapi masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, berarti ada yang salah dalam distribusi dan penggunaan dana.
Keseimbangan yang Semestinya Terjaga
Hubungan pajak dan perut mestinya seperti hubungan sawah dan padi. Pajak yang terkumpul adalah benih, perut rakyat adalah lumbungnya. Jika benih dikelola dengan baik, lumbung akan penuh. Tapi jika benih tercecer di jalan atau terserap di lahan yang salah, rakyat tetap lapar.