Di antara keramaian para peziarah yang datang ke situs makam Wali, seperti di Gunung Jati, Cirebon, ada satu fenomena yang kerap luput dari perhatian: peminta-minta yang memaksa. Mereka berdiri di pintu masuk, lorong ziarah, bahkan di dekat cungkup makam. Kadang menadahkan tangan, kadang mengejar, bahkan ada yang menahan langkah. Mereka memohon, bukan dengan lirih dan sopan, tapi dengan tekanan sosial yang terasa memaksa.
Padahal, sedekah itu mulia. Memberi adalah amalan penuh berkah. Namun bila pemberian itu didorong rasa tidak enak, ketakutan, atau karena “dipaksa”, maka maknanya berubah. Ia mungkin masih halal, tapi tidak lagi thayyib.
Apa Itu Thayyib?
Dalam Al-Qur'an, Allah tidak hanya memerintahkan manusia untuk mengonsumsi dan menggunakan yang halal, tapi juga yang thayyib—artinya: baik, layak, pantas secara adab, etika, dan manfaat.
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi thayyib dari apa yang ada di bumi…”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Jadi, bukan soal apa yang didapat, tapi bagaimana cara mendapatkannya.
Sedekah yang Dipaksa, Adalah Ibadah yang Ternoda
Mungkin memberi kepada mereka tetap dicatat sebagai sedekah. Tapi bayangkan jika sedekah berubah makna karena paksaan. Ini bukan hanya soal niat si pemberi, tapi juga soal akhlak si peminta.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan, maka ia seperti memakan bara api."
(HR. Muslim)
Apalagi jika pemintaan itu mengganggu pengunjung, menodai kekhusyukan ziarah, bahkan menciptakan trauma bagi anak-anak.