Mohon tunggu...
Dr Akhmad Aflaha SE MM
Dr Akhmad Aflaha SE MM Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, penulis, dan praktisi pendidikan yang dikenal melalui karya-karyanya di bidang pengembangan karakter, manajemen strategik, dan pemberdayaan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korupsi Itu Multi Tafsir, Tapi Jelas Bikin Endas Gembor

20 Juli 2025   13:55 Diperbarui: 20 Juli 2025   13:56 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu! Berikut versi final artikel utuh untuk Kompasiana, menggabungkan gaya reflektif serius dari artikel pertama dengan sentuhan "korupsi bikin endas gembor" dari ungkapan teman

Korupsi Itu Multi Tafsir, Tapi Jelas Bikin Endas Gembor

"Korupsi itu bikin endas gembor."

Begitu kata teman saya suatu pagi, saat kami sama-sama menyimak berita korupsi yang melibatkan oknum penting. Kalimat itu terdengar kasar, tapi entah kenapa justru terasa paling jujur. Sebuah ungkapan yang lahir dari rasa frustrasi atas kenyataan bahwa korupsi di negeri ini bukan hanya terjadi, tapi juga seperti di-"maklumi".

Korupsi memang bukan sekadar kejahatan finansial. Ia adalah pengkhianatan terhadap harapan rakyat, pencurian kepercayaan publik, dan penyebab utama kenapa banyak kepala---alias endas---warga Indonesia hari ini serasa gembor, berat, penuh tekanan, dan tidak karuan.

Korupsi Itu Multi Tafsir

Jika kita lihat dari sudut hukum, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sudah mengatur dengan detail apa itu korupsi: suap, gratifikasi, penyalahgunaan jabatan, penggelapan anggaran, dan lainnya.

Tapi dalam praktik, banyak yang menyiasati hukum itu dengan kemasan legalitas yang rumit. Gratifikasi jadi "uang terima kasih", mark-up jadi "biaya administrasi", dan suap pun bisa menjelma jadi "tali silaturahmi". Di sinilah letak multitafsirnya. Korupsi bisa dipahami secara sempit (sebatas pelanggaran hukum), atau luas (pelanggaran moral dan etika), tergantung siapa yang bicara dan untuk kepentingan apa.

Korupsi Moral dan Budaya yang Dibiasakan

Lebih berbahaya dari korupsi uang adalah korupsi moral. Ini tidak tercantum di pasal hukum, tapi efeknya terasa dalam kehidupan sehari-hari. Saat jabatan diwariskan secara nepotistik, saat kekuasaan digunakan untuk kepentingan keluarga, dan saat keadilan dijadikan alat tawar politik --- itulah bentuk korupsi moral yang kian membusuk tapi dibiarkan.

Kita juga punya budaya permisif: "asal urusan beres, tak masalah bayar lebih." Uang pelicin, sogokan kecil, atau jasa perantara dianggap lumrah. Kita lupa bahwa kebiasaan kecil yang salah akan menjadi kerusakan besar yang permanen.

Dan ya, ini semua... bikin endas gembor.

Politik: Arena Multitafsir yang Paling Licin

Dalam dunia politik, korupsi bukan lagi sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah alat, senjata, bahkan komoditas. Yang hari ini diserang karena korupsi, besok bisa jadi koalisi. Yang sekarang vokal anti korupsi, bulan depan malah bagi-bagi jatah proyek.

Kita jadi lelah menyaksikan sandiwara ini. Rakyat kecil hanya bisa gigit jari, karena hukum terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Koruptor miliaran bisa senyum di kamera, sementara pencuri sandal dipukuli massa.

Lama-lama masyarakat jadi apatis. Lalu keluar kalimat-kalimat satir seperti:

 "Semua juga korup, cuma belum ketahuan."

"Yang penting pintar membungkus."

"Asal rakyat dikasih bansos, semua beres."

Padahal, dari sinilah awal kejatuhan integritas bangsa. Ketika korupsi jadi budaya, maka rusaklah masa depan.

Korupsi Merusak dari Akar Sampai Ujung Daun

Dampaknya tidak cuma ekonomi. Tapi juga:

Jalan berlubang tak kunjung diperbaiki,

Guru dan tenaga kesehatan dibayar tidak layak,

Anak-anak putus sekolah karena biaya tinggi,

Ibu-ibu antre beras murah tapi yang dapat malah orang dalam.

Inilah realitas yang membuat kepala kita pusing. Dan bukan pusing biasa. Tapi pusing sistemik, pusing kebangsaan. Sekali lagi: bikin endas gembor.

Kita Bisa Apa?

Kita memang tidak bisa menumpas korupsi seorang diri. Tapi kita bisa memutus rantainya dari hal-hal kecil:

Tolak gratifikasi,

Laporkan penyimpangan,

Jaga integritas diri,

Pilih pemimpin bukan karena janji, tapi rekam jejak.

Korupsi bukan takdir. Ia tumbuh dari kompromi-kompromi kecil yang dibiarkan. Maka lawannya adalah keberanian, konsistensi, dan pendidikan karakter sejak dini.

Penutup

Multitafsir korupsi hanya menguntungkan mereka yang ingin bermain dalam kabut. Tapi kita, rakyat biasa, terus menjadi korban dari sistem yang keruh ini. Kalau bangsa ini ingin pulih, maka tafsir tentang korupsi harus kita perjelas: korupsi itu kejahatan, bukan kelaziman.

Dan kalau suara akademik terlalu formal untuk mengetuk nurani, maka biarlah suara teman saya yang sederhana itu kita dengungkan kembali:

 "Korupsi bikin endas gembor."

Karena dari rasa pusing rakyatlah, seharusnya nurani pemimpin itu tergerak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun