Qarun dan Kekayaannya yang Tak Sempat Disumbangkan
Saya tak tahu pasti seperti apa wajah Qarun. Tapi yang saya tahu, dalam setiap zaman, selalu ada Qarun-Qarun baru yang lahir. Bukan hanya karena mereka kaya, tapi karena mereka terlalu takut kehilangan apa yang mereka punya — dan terlalu pelit untuk sekadar peduli.
Qarun berasal dari kaum Nabi Musa. Ia bukan orang asing dalam barisan orang-orang tertindas. Tapi saat hidup memberi peluang, ia berbalik arah. Berpihak kepada kekuasaan. Menginjak tanah yang sama, tapi menatap langit dengan pongah.
Dan yang paling mencolok: ia kaya. Bukan sekadar kaya, tapi kaya yang menimbulkan iri.
Ketika Dunia Disembah Lebih Dari Tuhan
Qarun punya segalanya. Sampai-sampai Al-Qur’an bilang:
"Kunci-kunci perbendaharaannya saja berat dipikul oleh orang-orang kuat."
Itu baru kunci. Belum isi gudangnya. Belum simpanan yang tak sempat dihitung.
Tapi semua itu membuatnya lupa arah. Ketika dinasihati, ia jawab dengan gaya khas manusia sombong:
“Aku dapat ini karena ilmuku.”
Pernah dengar kalimat serupa di zaman kita?
"Aku sukses karena kerja kerasku sendiri."
"Kalau mau kaya, ya usaha, bukan minta-minta."
"Gue bukan tipe yang kasih gratisan."
Sama. Intinya sama. Qarun zaman dulu dan sekarang cuma beda casing.
Ia Pamer. Tapi Tuhan Tak Diam.
Qarun keluar rumah. Bukan untuk membantu. Tapi untuk memamerkan.
Ia pakai jubah terbaik. Naik kendaraan termahal. Dikelilingi pelayan, penjaga, dan rasa congkak yang mendidih dalam dada.
Orang-orang melihat dan terperangah.
Sebagian iri.
Sebagian kagum.
Sebagian membatin, “Andai aku seperti dia…”
Tapi segelintir yang berpikir dalam justru geleng-geleng kepala.
Karena mereka tahu: dunia yang dipamerkan terlalu berisik, dan itu biasanya pertanda kehampaan.
Dan Tanah Itu Membuka Mulutnya
Tiba-tiba bumi berguncang.
Bukan karena gempa besar. Tapi karena ada yang terlalu pongah berdiri di atasnya.
Tanah retak.
Qarun mulai tenggelam.
Lutut, pinggang, dada, kepala.
Hilang. Bersama rumahnya. Bersama harta yang tak sempat ia sumbangkan.
“Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya ke dalam bumi.”
(QS. Al-Qashash: 81)
Qarun dan Kekayaannya yang Tak Sempat Disumbangkan
Apa yang Sisa?
Yang sisa hanya pelajaran.
Bahwa harta yang tidak dibagikan, pada akhirnya hanya akan dikubur bersama pemiliknya.
Bahwa kekayaan yang dibanggakan, tak pernah lebih tinggi daripada tanah yang akan memakannya.
Dan bahwa hidup ini... bukan tentang berapa yang kita punya, tapi berapa yang sempat kita beri.
Penutup: Jangan Mati Sebelum Memberi
Qarun mati bukan karena dosa biasa.
Ia mati karena terlalu cinta dunia, dan lupa bahwa dunia bukan tempat tinggal — hanya tempat singgah.
Hari ini mungkin bukan giliran kita.
Tapi siapa tahu, ada tanah yang sedang diam-diam retak di bawah kaki kita, karena terlalu lama kita pelit.
Pelit ilmu.
Pelit empati.
Pelit peduli.
Sebelum semuanya terlambat, beri.
Bukan karena kita lebih, tapi karena kita masih hidup.
“Kekayaan sejati bukan pada yang disimpan. Tapi pada yang sempat diberikan sebelum semuanya terlambat.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI