Oleh : Dr. H.Syarif Abubakar Yahya, M.Si.(Dosen Pascasarjana IPEBA Cirebon)
Editorial : Dr.Akhmad Aflaha, M.M.
Dalam suasana perdebatan yang kian hari semakin panas, sering kali kita lupa bahwa tujuan utama dari diskusi dan debat bukanlah untuk mencari kemenangan atau menjatuhkan lawan. Tujuan yang sesungguhnya adalah mencari dan menemukan kebenaran. Namun pertanyaannya: siapkah kita menerima kenyataan bahwa kebenaran itu ternyata tidak berada di pihak kita?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Butuh kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa apa yang selama ini kita yakini bisa saja keliru. Tak semua orang bersedia untuk mengakui kesalahan, apalagi jika lawan debat kita ternyata benar. Ego dan hawa nafsu menjadi hijab terbesar yang menghalangi seseorang untuk mengakui dan menerima kebenaran.
Kebenaran Tak Selalu Berada di Pihak Kita
Manusia cenderung merasa nyaman dengan apa yang ia yakini. Ketika ada pendapat lain yang menggugat keyakinannya, maka respons alaminya adalah bertahan dan menyerang balik. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari, tetapi sesuatu yang dipaksakan.
Sebagian orang bahkan rela menolak kebenaran hanya demi mempertahankan kehormatan palsu. Mereka takut dianggap kalah, padahal sejatinya mengakui kebenaran adalah kemenangan sejati atas diri sendiri. Ketika ego lebih dijaga daripada kebenaran, maka debat berubah menjadi arena adu gengsi, bukan ruang berpikir jernih.
Kisah Al-Qur'an: Saat Kebenaran Ditolak Karena Hawa Nafsu
Dalam Al-Qur’an, terdapat kisah tentang orang yang menolak kebenaran hanya karena hawa nafsunya. Ia berdoa:
> “Ya Allah, jika memang kebenaran ada pada Muhammad, maka hujankanlah batu dari langit kepadaku.”