Di tengah semangat pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, Indonesia dihadapkan pada dua wajah realitas: satu penuh harapan, satunya lagi menyimpan luka. Di satu sisi, program seperti MEKAR (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) yang diinisiasi oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) memberikan janji pembiayaan ultra mikro yang inklusif. Namun di sisi lain, menjamur praktik rentenir berkedok koperasi harian—yang dikenal masyarakat sebagai bank emok—yang merusak sendi-sendi ekonomi keluarga kecil.
Bank Emok: Jerat Lembut, Luka Mendalam
Bank emok bukanlah lembaga keuangan resmi. Mereka bergerak secara informal dan menyasar ibu-ibu rumah tangga, khususnya di pedesaan, dengan modus "pinjaman tanpa jaminan, cair cepat". Di balik iming-iming kemudahan ini tersembunyi bunga yang sangat tinggi, penagihan harian, hingga tekanan sosial.
Dalam banyak kasus, perempuan yang meminjam untuk usaha kecil justru masuk ke dalam lingkaran utang, bahkan meminjam lagi demi menutup utang sebelumnya (loan cycling). Ketika tidak mampu membayar, dampaknya bukan hanya finansial, tetapi juga psikologis dan sosial: keluarga pecah, aset tergadai,p0 martabat runtuh.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), praktik seperti ini melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, karena menjalankan kegiatan usaha keuangan tanpa izin.
Program MEKAR: Potensi Besar yang Perlu Dikawal
Program MEKAR yang diluncurkan pemerintah melalui PNM menawarkan akses pembiayaan ultra mikro tanpa agunan bagi pelaku usaha kecil. Skema ini merupakan bentuk implementasi keuangan inklusif yang sejalan dengan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif.
Namun, laporan lapangan menyebutkan adanya persoalan serius: penagihan kolektif, tekanan target, bahkan penyalahgunaan data identitas kelompok. Jika tidak dikawal, program MEKAR bisa berubah menjadi “bank emok berseragam”—legal tapi tetap menindas.
Langkah Strategis: Dari Memberantas ke Membina
Agar rakyat kecil tidak berpindah dari satu penindasan ke penindasan lain yang lebih rapi dan legal, dibutuhkan kebijakan holistik berbasis perlindungan dan pemberdayaan rakyat: