Di tengah situasi ekonomi yang penuh ketimpangan, di mana harga kebutuhan pokok melonjak dan akses usaha semakin sulit bagi rakyat kecil, koperasi seharusnya menjadi harapan. Sayangnya, wajah koperasi hari ini banyak yang kehilangan makna. Alih-alih menjadi alat perjuangan kolektif, sebagian besar justru menjelma menjadi lembaga keuangan biasa---formal di struktur, kering dalam nilai.
Koperasi yang sejatinya dibangun atas semangat kekeluargaan dan gotong royong, kini banyak yang berjalan layaknya perusahaan konvensional. Tak sedikit koperasi yang hanya mengulang pola simpan pinjam, dikelola oleh segelintir elite pengurus, minim pelibatan anggota, dan jauh dari ruh kebangsaan.
Namun, secercah cahaya datang dari sebuah gagasan besar: Koperasi Merah Putih. Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 menetapkan pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih di desa dan kelurahan seluruh Indonesia. Program ini dirancang sebagai motor penggerak ekonomi kerakyatan, dan akan diluncurkan bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional 12 Juli 2025.
Pertanyaannya: apakah ini akan menjadi sekadar proyek formalitas tahunan, atau justru menjadi momentum lahirnya kembali koperasi sebagai alat pembebasan ekonomi rakyat?
Koperasi Konvensional: Jalan yang Terlalu Lama Dijadikan Kebiasaan
Model koperasi yang selama ini mendominasi dapat disebut sebagai koperasi konvensional. Secara struktur, koperasi jenis ini memang merujuk pada prinsip-prinsip koperasi internasional seperti keanggotaan sukarela, partisipasi demokratis, otonomi, dan pendidikan anggota. Namun dalam praktiknya, banyak koperasi justru menampilkan wajah yang birokratis, elitis, dan terlalu teknokratik.
Banyak koperasi hanya berfokus pada transaksi simpan pinjam atau unit usaha dagang sederhana. Koperasi jenis ini nyaris tak memiliki strategi pemberdayaan, pembelaan terhadap petani, nelayan, atau pelaku UMKM. Bahkan, banyak koperasi justru dimanfaatkan sebagai kendaraan ekonomi kelompok elit lokal atau hanya eksis secara administratif---lengkap laporan RAT dan kepengurusan, tetapi kosong makna sosial.
Koperasi semacam ini tidak lagi menjadi wadah bersama untuk membangun kemandirian kolektif. Ia sekadar tempat "memutar uang" tanpa napas kebangsaan.
Koperasi Merah Putih: Bukan Sekadar Usaha, Tapi Gerakan Rakyat
Di sinilah Koperasi Merah Putih hadir membawa semangat baru. Ia bukan hanya membentuk koperasi sebagai unit ekonomi desa, tetapi sebagai alat perjuangan rakyat dalam membangun kedaulatan ekonomi dari bawah.
Koperasi ini tidak dibangun dari pendekatan teknokratis semata, tetapi dari kesadaran ideologis berbasis Pancasila, gotong royong, dan keadilan sosial. Ia tidak mengejar profit, melainkan kemandirian dan keberdayaan komunitas.