Istilah "pembangunan" selalu menjadi senjata retorika yang ampuh di setiap musim politik. Disajikan dalam visi-misi bombastis, dihiasi target yang memukau, dan dipasarkan sebagai jalan menuju perubahan. Namun, banyak dari janji tersebut akhirnya hanya menjadi penghias dokumen perencanaan dan pidato resmi. Di tataran implementasi, administrasi pembangunan yang mestinya menjadi instrumen penerjemah visi menjadi aksi justru kerap tersandera oleh tumpukan birokrasi, koordinasi yang timpang, dan kepentingan politik yang lebih memprioritaskan pencitraan daripada keberhasilan program.
Salah satu contoh yang mencolok adalah proyek Food Estate. Diluncurkan pada 2020 sebagai Program Strategis Nasional demi memperkuat kemandirian pangan, proyek ini menyerap dana APBN dalam jumlah triliunan rupiah. Namun, hasil evaluasi BPK tahun 2023 menampilkan potret yang jauh dari harapan: ribuan hektar lahan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara terbengkalai, produktivitas gagal memenuhi target, dan sebagian lahan bahkan berubah fungsi. KPK menambahkan, kelemahan utama ada pada tahap perencanaan mulai dari pemilihan lokasi yang tidak melalui kajian lingkungan memadai hingga desain program yang tak adaptif. Proyek yang awalnya dijanjikan sebagai tonggak ketahanan pangan malah menjadi pelajaran pahit tentang rapuhnya administrasi pembangunan yang tidak berpijak pada data dan prinsip tata kelola yang solid.
Masalah serupa juga menghantui sektor infrastruktur. Laporan Ombudsman RI menemukan kasus di Sulawesi Barat pada 2022, di mana sejumlah jalan dan jembatan yang baru diresmikan mengalami kerusakan parah hanya dalam hitungan bulan. Penyebabnya bukan sekadar mutu konstruksi yang rendah, tetapi juga minimnya pengawasan serta ketiadaan rencana pemeliharaan jangka panjang. Pola ini memperlihatkan betapa pembangunan kerap dikorbankan demi agenda politik lima tahunan, sementara visi keberlanjutan diabaikan.
Padahal, transformasi digital memberi peluang emas untuk membenahi tata kelola pembangunan. E-governance dapat memangkas rantai birokrasi, memperluas akses publik terhadap data anggaran, serta memberi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mengawasi proyek secara langsung. Contohnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berhasil membangun sistem pelaporan cepat melalui aplikasi Qlue dan JakLapor yang memaksa dinas terkait merespons keluhan warga dalam tempo singkat. Sayangnya, inovasi seperti ini belum menjadi norma nasional karena sebagian besar daerah masih menganggap transparansi sebagai ancaman terhadap kenyamanan birokrasi lama.
Untuk memutus lingkaran masalah ini, administrasi pembangunan harus mengedepankan tiga prinsip utama: memangkas prosedur yang tidak relevan, menjaga konsistensi kebijakan lintas periode kepemimpinan, dan mengandalkan evaluasi berbasis bukti, bukan sekadar opini atau pencitraan. Tanpa pembenahan ini, pembangunan akan terus menjadi panggung drama politik dengan anggaran besar, seremoni megah, namun minim manfaat nyata bagi rakyat. Jika Indonesia ingin serius menatap visi 2045, maka sudah saatnya administrasi pembangunan bertransformasi dari alat kampanye menjadi motor perubahan yang berpihak penuh pada kepentingan publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI