Mohon tunggu...
Ajeng Arainikasih
Ajeng Arainikasih Mohon Tunggu... Sejarawan - Scholar | Museum Expert | World Traveller

Blogger - Writer - Podcaster www.museumtravelogue.com www.ajengarainikasih.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hiroshima Peace Memorial Museum, Mimpi Buruk bagi Anak Kecil

19 April 2020   10:15 Diperbarui: 20 April 2020   03:16 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiroshima Peace Memorial Museum. Foto oleh Galih Andika Pratomo, 2016.

Orang tuanya yang sangat sedih merasa Shinichi terlalu kecil untuk dimakamkan sendirian. Maka Shinichi yang dimakamkan di belakang rumahnya ditemani oleh sepeda roda tiga dan helm nya. Bertahun-tahun kemudian ketika makam Shinichi hendak dipindahkan, orang tuanya kemudian menyumbangkan sepeda dan helm Shinichi untuk Hiroshima Peace Memorial Museum.

Display sepeda dan helm di museum. Foto oleh Galih Andika Pratomo, 2016. 
Display sepeda dan helm di museum. Foto oleh Galih Andika Pratomo, 2016. 

Adapula cerita mengenai Sadako Sasaki, anak perempuan berusia 12 tahun yang terkena penyakit kanker akibat terpapar bom atom saat ia berumur 2 tahun. Sadako membuat banyak origami berbentuk burung demi mengharap kesembuhan dirinya. 

Origami berbentuk burung pun dipajang di museum untuk mengilustrasikan kisah Sadako. Kisah Sadako juga menginspirasi dibangunnya Children’s Peace Monument yang terletak tidak jauh dari museum.

Oleh karena narasi yang dibangun oleh museum adalah cerita personal para korban bom atom, maka selama berada di museum saya lebih banyak merasa sedih dibandingkan dengan takut. Rasanya seperti ikut merasakan kehilangan akan para korban.

Apalagi peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki selalu disebutkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Saya jadi merasa lebih bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di Jepang saat peristiwa sejarah kelam tersebut berlangsung.

Selama di museum, saya juga berkeliling dengan menggendong anak saya yang berumur 10 bulan. Sedangkan kakaknya yang berusia 5 tahun berkeliling museum bersama dengan adik-adik saya menggunakan audio guide berbahasa Indonesia. 

Oleh karena menggunakan Bahasa Indonesia maka anak saya mengerti apa yang dinarasikan oleh museum. Di dalam ruang pamer anak saya terlihat agak tegang, tetapi di luar ia terlihat gembira dan tetap berlarian dengan ceria.

Namun, malam harinya ketika kami telah kembali ke penginapan, anak saya berbisik dan menyatakan kalau ia tidak bisa tidur. "Ma, aku gak bisa tidur! Di museum tadi banyak orang yang meninggal. Banyak anak kecil meninggal. Aku takut. Bagaimana kalau nanti aku mimpi buruk?"

Nah lo! Saat itu saya baru sadar bahwa konten museum mungkin terlalu mengerikan untuk dicerna oleh anak-anak berusia 5 tahun. Sebagai museolog saya lantas berfikir, bagaimanakah memorial museum (mengenai perang dan peristiwa genosida) seharusnya menampilkan narasinya?

Apakah seharusnya ada ruangan khusus untuk anak-anak dan/atau ada label khusus anak? Apa perlu ada peringatan terkait konten pameran dan batas usia sebelum memasuki ruang pamer agar orang tua bisa bersiap memberikan penjelasan tersendiri? Bagi saya pribadi, hal ini menarik untuk diteliti lebih dalam. What do you think?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun