Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Basic Instinct dan Rumitnya Sensor Konten OTT di Era Digital

21 Agustus 2023   12:43 Diperbarui: 21 Agustus 2023   17:31 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi "Basic instinct dan rumitnya sensor konten OTT..."(sumber image: freepik.com) 

Basic Instinct dan Rumitnya Sensor Konten OTT di Era Digital

JAKARTA, -Film "Basic instinct" (1992) yang diperani artis panas Sharon Stone itu harus melewati proses sensor rumit sedikitnya tiga hari, sebelum akhirnya tayang di SCTV sekitar tahun 1995. Kebetulan tukang sensor atas film kategori HOT itu adalah saya sendiri, nun di waktu itu. Ini beneran? Iya beneran. Bukan hoak? Bukan. Bijimana ceritanya kok film yang mestinya rejected itu, akhirnya bisa 'layak tayang'?

Saya masuk jadi tukang sensor film, bergabung di bagian Quality Control (QC) pada divisi Programming SCTV yang berkantor pusat di jl Darmo Permai, Surabaya, tahun 1994-1996. Pekerjaan utama saya dan beberapa kawan QC adalah melakukan proses Quality Control (internal censorship), yaitu: menonton, mencatat, membongkar, menyensor, membuang, mengedit, merapikan lagi, melabeli 'Passed' atau 'Rejected', terus mencatat lagi dalam suatu Cue Sheet Report atau lembar time line konten.

Proses itu kami lakukan untuk semua jenis program siaran sebelum ditayangkan di SCTV, antara lain: program lokal seperti sinetron dan film nasional, dan semua program hiburan import, termasuk jenis film asing, contohnya ya film Basic Instinct ini.

Secara bercanda kami menyebut pekerjaan kami itu adalah "sebagai tukang jagal film", dengan predikat istilah kerennya profesi saya adalah "Penyunting Program". Mantabb pakde! Hihihi.

Rumitnya, semua proses censorship ini kami lakukan di ruang tertutup semacam bunker "Restricted Area", benteng berdinding tebal, bersuhu rendah, dengan peralatan sensor paling canggih kala itu. Antara lain: beberapa set mesin editing khusus pita kaset Betacam SP, layar monitor, vector scope -- alat canggih pendeteksi kualitas audio video.


Nah, untuk menjalankan tugas khusus bidang sensor film ini saya harus memakai kostum jaket tebal setiap hari, untuk melawan hawa dingin ruangan QC.

Rumitnya lagi, selain harus terampil menjalankan mesin sensor yang canggih itu, sebagai petugas partai eh maaf salah ketik, maksudnya, sebagai petugas sensor, tim QC harus mampu memilih, memilah, dan mengeksekusi setiap program televisi, berbasis sesuai panduan aturan sensor dari BSF (badan sensor film) dan LSF (Lembaga sensor film), kala itu.

Aturan itu cukup mendetail dan rumit, terutama panduan adegan apa saja yang tidak boleh ditayangkan ke publik. Seperti: soal kekerasan, pornografi, ucapan ujaran kebencian, dan sebagainya.

Khusus Film Basic Instinct, adalah contoh rumitnya proses sensorship itu. Sebagai petugas sensor atas film itu, saya mengalami dilema. Satu sisi bahwa "ada arahan dari pusat" bahwa pokoknya film harus layak tayang, sebab hak tayangnya mahal, tetapi iklan sudah mengantre, laris.

Di sisi lain "bagaimana meloloskan konten film Basic Instinct, yang di sana sini dipenuhi adegan hot ini". Menanggung misi dua hal yang kontradiktif ini, saya mumet, nun di kala itu.

Namun Akhirnya, dengan susah payah (karena saya pejuang tangguh), memakai peralatan canggih di ruang QC, saya berhasil "membersihkan" satu satu semua adegan tak senonoh di film itu. Sedikitnya 40% bagian film itu harus saya babat habis, sesuai aturan teknis BSF dan LSF, sehingga akhirnya saya stempel QC "Passed", not "Rejected".

Tentu saja, saya sadar bahwa alur cerita film itu menjadi aneh, sebab saya buang semua adegan ini itu, dan kata kata kotor, sampai bersih sih, resik sik. Dan proses itu, memakan waktu lama tiga hari.

Ilustrasi tentang sensor film Basic Instinct ini, mau menggambarkan sesuai judul artikel ini, bahwa betapa rumit dan mahalnya ongkos suatu proses sensor di dunia pertelevisian analog di kala itu.

Pertanyaannya: bagaimana jika proses sensor itu dilakukan di era digital sekarang? Program siaran tidak lagi tayang di format analog siaran TV tradisional, malainkan melalui format layanan OTT berbasis internet. Bisakah pembaca Kompasiana yang Budiman-Budiwati membayangkan bagaimana kompleksitas dan rumitnya proses sensor ini?

Ulasan pendek ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Marilah kita melihat persoalan ini lebih dekat lagi, setahap demi setahap.

Apa itu OTT

OTT singkatan dari "Over-The-Top," yakni istilah layanan konten media hiburan dan informasi tertentu yang disalurkan langsung ke penonton melalui internet, tanpa perlu melibatkan penyedia layanan tradisional seperti televisi kabel atau penyiaran satelit.

Contoh layanan OTT antara lain: platform streaming video seperti Netflix, Hulu, Disney+, Amazon Prime Video, dan YouTube. Layanan OTT ini memungkinkan kita untuk menonton konten seperti film, acara TV, video pendek, dan konten lainnya secara langsung melalui perangkat yang terhubung ke internet, seperti komputer, smartphone, tablet, dan smart TV.

Karakteristik utama dari layanan OTT, adalah sifatnya yang fleksibel. Konten bisa dipilih sendiri sesuai selera, ditonton kapan saja, dan bisa di mana saja, berdasarkan preferensi individu, tanpa perlu mengikuti jadwal siaran yang ditentukan oleh penyedia layanan tradisional seperti TV siaran.

Nah, seiring pertumbuhan teknologi internet dan perangkat pintar, layanan OTT telah menjadi sangat populer hingga era sekarang ini. Selera penonton pun telah cenderung berubah arah ke OTT tinimbang ke televisi siaran tradisional. Contohnya, kita mungkin lebih suka menonton film konten Drakor, film laga dan mafia Colombia di Netflix, dibanding nonton sinetron di TV lokal. Iya gak sih?

Pentingnya sensor OTT

Menurut pendapat penulis, sama halnya program siaran TV tradisional harus melalui proses internal QC, sepatutnya konten dalam layanan OTT diperlakukan proses QC yang sama.

Artinya, proses mekanisme sensor OTT (Over-The-Top) penting dilakukan untuk menegakkan aturan regulasi dan pengawasan pemerintah untuk melindungi masyarakat, dari segala terpaan konten merugikan, termasuk video, audio dan teks melalui internet.

Karena sifatnya yang dapat diakses secara global, tanpa batasan geografis, beberapa alasan yang muncul terkait dengan regulasi dan pengawasan konten OTT oleh pemerintah, antara lain:

Perlindungan Konsumen dan Anak-Anak: Sensor OTT dapat dianggap membantu dalam menerapkan standar perlindungan konsumen dan anak-anak, yang serupa seperti diterapkan pada layanan TV tradisional. Konten yang tidak pantas atau tidak cocok untuk anak-anak dapat diidentifikasi dan diblokir.

Ketidaksesuaian Budaya dan Moral: Konten di layanan OTT dapat bervariasi secara signifikan dalam hal budaya, moral, dan nilai-nilai. Sensor dapat membantu pemerintah dan otoritas regulasi (KPI) mengawasi konten yang mungkin bertentangan dengan standar norma budaya dan moral di Indonesia.

Isu Keamanan dan Kejahatan: Sensor dapat dianggap membantu mengidentifikasi konten yang mengandung ancaman atau promosi kejahatan, seperti penipuan, kekerasan, atau radikalisasi. Ini membantu menjaga lingkungan pengguna online, semakin aman dan nyaman.

Konten Palsu dan Hoaks: Sensor dapat membantu mengidentifikasi dan membatasi penyebaran konten palsu, berita palsu, dan hoaks, yang dapat berdampak negatif pada masyarakat dan persepsi informasi.

Hak Cipta dan Konten Ilegal: Sensor dapat membantu mengenali dan menghapus konten yang melanggar hak cipta atau ilegal, seperti konten bajakan atau pornografi ilegal.

Ketidaksetaraan Akses: Sensor juga harus diawasi agar tidak digunakan untuk membatasi akses ke konten secara sewenang-wenang atau untuk tujuan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Namun, selain beberapa alasan di atas, perlu diingat bahwa pengawasan konten OTT juga dapat menimbulkan efek berupa tantangan terkait dengan kebebasan berekspresi dan privasi.

Menurut catatan penulis, regulasi yang terlalu ketat atau tidak tepat dapat menghambat inovasi dan keanekaragaman konten serta melanggar hak-hak individu untuk mengakses informasi dan berpendapat secara bebas. Hal ini bisa dianggap melanggar undang undang kebebasan berekspresi.

Oleh karena itu, perlu keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kebebasan berekspresi masyarakat sesuai UU, jika pemerintah mau merancang regulasi dan pengawasan terhadap layanan OTT.

Beberapa Faktor Mempengaruhi

Menurut penulis, di era digital ada beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme sensor OTT menjadi rumit, antara lain:

Ragam Konten: Ragam konten di layanan OTT mencakup berbagai jenis, seperti video, audio, dan teks. Kompleksitasnya bisa berkisar dari konten hiburan hingga berita, pendidikan, atau konten politik. Nah rumitnya, mekanisme sensor OTT harus mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan setiap jenis konten ini secara akurat dan efisien.

Skala dan Volume: Layanan OTT menghasilkan jumlah konten yang sangat besar setiap harinya. Proses sensor OTT harus dapat mengatasi arus volume konten yang tinggi ini dengan cepat dan tanpa mengorbankan akurasi. Nah, teknologi otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) harus disiapkan untuk mengelola tantangan ini.

Kecepatan Internet: Kecepatan dan kualitas internet pengguna dapat mempengaruhi bagaimana konten OTT diakses dan ditonton. Sensor OTT mungkin perlu mempertimbangkan situasi koneksi internet lambat atau tidak stabil, serta cara beradaptasi dengan kualitas konten yang disesuaikan.

Perangkat: Umumnya pengguna mengakses konten OTT melalui berbagai perangkat, termasuk smartphone, tablet, komputer, dan smart TV. Setiap perangkat memiliki karakteristik tampilan dan pengalaman yang berbeda. Nah, di sinilah mekanisme sensor OTT harus mampu memastikan konten diakses dengan tepat pada berbagai jenis perangkat ini.

Menurut penulis, dalam merancang mekanisme sensor OTT, semua faktor di atas harus dipertimbangkan untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi sensor tidak hanya efektif dalam mengidentifikasi konten yang melanggar aturan, tetapi juga memperhatikan kebebasan berekspresi, privasi, dan kebutuhan pengguna. Iya kan, iya nggak. Yaiyalah. Iya donk.

Menurut penulis, keselarasan antara perlindungan dan kenyamanan pengguna dengan norma hukum dan budaya yang berlaku, sangat penting dalam upaya mengatur konten OTT secara efektif.

Tantangan Rumitnya Sensor OTT di Era Digital

Menurut catatan penulis, secara khusus beberapa tantangan kerumitan mekanisme sensor OTT di era digital, antara lain:

Batasan Teknis: yakni kendala dalam mendeteksi dan mengawasi konten pada platform OTT. Artinya, kendala teknis seperti variasi format konten (video, audio, teks), bahasa yang berbeda, dan metode penyampaian yang beragam membuat pengembangan algoritma sensor yang efektif menjadi kompleks (rumit). Beberapa konten mungkin menggunakan kode atau bahasa yang khusus atau bervariasi, sehingga mempersulit proses deteksi oleh perangkat sensor otomatis.

Konten yang Beragam: yakni sulitnya mengklasifikasikan konten yang kompleks atau ambigu. Konten di layanan OTT seringkali sangat beragam dan kompleks. Misalnya, mengklasifikasikan konten berita yang kontroversial atau konten seni yang konteksnya ambigu bisa menjadi tantangan. Nah, Algoritma sensor harus mampu (tidak bingung) memahami konteks dan nuansa ini untuk menghindari kesalahan dalam menilai konten yang sedang diproses sensor OTP.

Sensor Dinamis: yakni perubahan cepat dalam jenis konten dan platform, mengharuskan regulasi yang fleksibel. Dunia digital berkembang pesat dengan munculnya jenis konten baru dan platform baru secara terus-menerus. Nah, Sensor OTT harus dapat mengikuti perubahan ini dengan cepat dan memiliki regulasi yang fleksibel untuk menyesuaikan dengan tren dan perkembangan terbaru.

Penghindaran Sensor: Pengguna atau penyedia konten mungkin berusaha untuk menghindari sensor OTT dengan menggunakan taktik seperti mengganti kata kunci, merubah format video audio, atau menggunakan kode tersembunyi. Nah, ini menuntut perkembangan konstan dalam teknologi sensor untuk mengatasi upaya penghindaran ini. Mungkin hal ini tidak mudah.

Tantangan-tantangan di atas, menggambarkan kompleksitas dalam mengatur dan mengawasi konten di lingkungan OTT yang cepat berubah.

Mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan kombinasi teknologi sensor yang canggih (terupdate), kerjasama dengan penyedia layanan dan platform OTT, serta regulasi yang cerdas dan fleksibel dari Pemerintah.

Pemerintah dan otoritas KPI misalnya, perlu bekerja sama dengan industri, ahli teknologi, dan masyarakat sipil untuk mengembangkan solusi yang tepat untuk mengatasi tantangan (kerumitan) ini dengan menjaga keseimbangan antara keamanan, privasi, dan kebebasan berekspresi.

Teknologi Dalam Sensor OTT

Menurut penulis, saat sekarang ada beberapa model teknologi yang mungkin bisa dipakai untuk membantu pelaksanaan sensor OTT, di antaranya:

Penerapan AI dan Machine Learning: Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan mesin pembelajaran (machine learning) dapat digunakan secara luas dalam mekanisme sensor OTT. Algoritma cerdas dilatih dengan dataset yang mencakup berbagai jenis konten yang melanggar, sehingga mereka dapat belajar untuk mengenali pola dan karakteristik yang mengindikasikan konten yang melanggar. Dengan adanya AI, sensor otomatis dapat memperbaiki akurasi dan efisiensi dalam mengidentifikasi konten yang melanggar aturan.

Analisis Sentimen: yakni penggunaan analisis bahasa dan sentimen untuk mengidentifikasi konten merugikan. Teknik analisis bahasa alami dan sentimen digunakan untuk memahami makna dan emosi dalam konten teks. Ini memungkinkan sensor untuk mengidentifikasi konten yang mungkin memiliki dampak merugikan, seperti ancaman, ujaran kebencian, atau hasutan. Analisis ini dapat membantu mengklasifikasikan konten dengan lebih baik dan memahami tujuan komunikasi di baliknya.

Filter Konten: yakni penggunaan filter berbasis kata kunci dan gambar untuk mencegah konten tertentu. Filter berbasis kata kunci dan gambar digunakan untuk mencegah konten tertentu dari ditampilkan atau diunggah. Filter ini dapat memblokir kata-kata atau frasa yang berkaitan dengan konten yang melanggar, serta mengidentifikasi gambar atau video yang mengandung konten yang tidak pantas. Filter ini berfungsi sebagai lapisan pertama dalam menghindari konten melanggar masuk ke platform.

Dalam upaya mengatasi kompleksitas konten digital, teknologi semacam ini menurut penulis, mungkin memberikan cara efektif untuk memperkuat mekanisme sensor OTT.

Namun, perlu diingat bahwa teknologi tidak selalu sempurna dan dapat menghadapi tantangan seperti konten palsu atau upaya penghindaran sensor.

Oleh karena itu, teknologi perlu diterapkan dengan bijak dan selalu dikombinasikan dengan pengawasan manusia (tim QC khusus) yang tepat untuk memastikan bahwa keputusan sensor yang diambil adalah akurat dan adil.

Namun, penulis mencatat bahwa teknologi ini juga dapat menjadi kontroversial karena berpotensi mempengaruhi kebebasan berekspresi dan hak privasi masyarakat. Oleh karena itu, penting hati hati untuk mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi sensor ini dengan bijak dan sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia. Keseimbangan antara perlindungan dan kebebasan menjadi kunci dalam mengelola teknologi sensor OTT.

Implikasi Hukum dan Etika

Penting dicatat, bahwa mekanisme sensor OTT bisa saja berimplikasi pada hukum dan etika, antara lain:

Kebebasan Berbicara: Penerapan sensor OTT dapat menimbulkan konflik dengan hak kebebasan berbicara yang dijamin oleh undang-undang. Penekanan pada sensor yang terlalu kuat oleh Pemerintah bisa menghambat kebebasan berekspresi dan cenderung membatasi variasi pendapat di platform OTT. Penting untuk menemukan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan hak kebebasan berbicara untuk menghindari potensi penyalahgunaan aturan sensor.

Privasi Pengguna: Risiko pelanggaran privasi dalam analisis konten pengguna. Sensor OTT yang menganalisis konten pengguna untuk tujuan deteksi konten yang melanggar, bisa memunculkan risiko pelanggaran privasi. Analisis konten pribadi pengguna dapat menciptakan potensi penyalahgunaan data pribadi atau informasi yang sensitif. Maka penanganan data harus sesuai dengan undang-undang privasi yang berlaku dan mengutamakan keamanan informasi pengguna.

Keberagaman Budaya: Platform OTT beroperasi secara global. Artinya, konten yang diterima di satu budaya mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya di negara lain. Maka regulasi yang berlebihan atau standar sensor yang sama untuk semua wilayah, berpotensi mengabaikan keberagaman budaya dan menghambat akses ke konten yang dianggap penting dalam suatu budaya.

Dengan demikian, implikasi hukum dan etika dalam konteks sensor OTT merupakan tantangan serius yang memerlukan pendekatan yang matang. Regulasi harus didesain dengan mempertimbangkan perlindungan konsumen, kebebasan berbicara, dan privasi pengguna.

Mengambil contoh dari kerangka regulasi yang ada dalam industri media dan hiburan TV tradisional, dapat membantu mengembangkan pendekatan yang seimbang dan adil terhadap pengaturan konten di layanan OTT.

Selain itu, keterlibatan aktif dari ahli hukum, ahli teknologi, dan masyarakat sipil dalam diskusi mengenai regulasi adalah penting untuk memastikan dampak yang positif dalam ekosistem OTT.

Kegagalan dan Keberhasilan Implementasi Sensor OTT

Menurut penulis, di sepanjang sejarah layanan OTT, ada kasus keberhasilan dan kegagalan dalam implementasi mekanisme sensor OTT. Contohnya, pernah terjadi di beberapa platform berikut:

YouTube: YouTube, sebagai salah satu platform video terbesar, telah dihadapkan pada kritik karena beberapa konten yang melanggar, ternyata berhasil lolos sensor. Meskipun ada upaya untuk memblokir konten merugikan, adanya konten yang tidak pantas atau berbahaya masih menjadi perhatian. (ini mirip kisah Basic Instinct, yang seharusnya tidak layak tayang, kok ya tayang -red).

TikTok: TikTok telah mengalami masalah sensor terkait konten yang tidak pantas atau konten yang memicu perilaku berbahaya. Meskipun ada upaya untuk membatasi akses anak-anak dan remaja terhadap konten tertentu, tantangan dalam mengidentifikasi dan membatasi konten, harusnya tetap ada.

Netflix: Netflix telah mengambil pendekatan untuk memberikan kendali lebih besar kepada pengguna (pilihan bebas pada penonton) atas apa yang mereka tonton dengan memberikan sistem peringatan dan rating pada konten. Meskipun platform ini memberikan pilihan dan informasi kepada pengguna, ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang: pengawasan pada praktiknya yang lebih ketat bagaimana? siapa yang bisa menjamin.

Beberapa studi kasus ini menunjukkan bahwa implementasi sensor OTT adalah tantangan yang kompleks dan masih dalam tahap perkembangan.

Keberhasilan dan kegagalan dalam mengatur konten di layanan OTT, harusnya membawa pembelajaran penting bagi pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat penonton (pengguna internet dan OTT) untuk membangun pendekatan yang lebih baik dan lebih seimbang dalam pengaturan konten di dunia digital.

Menyudahi Ulasan

Keadaan terus berubah. Ruang sensor tidak lagi berada di ruang bunker "Restricted Area" tertutup bersuhu dingin seperti saat penulis menyensor film Basic Instinct, seperti dikisahkan di awal tulisan ini.

Di era digital sekarang sensor OTT merupakan tantangan kompleks dalam lingkungan digital yang terus berkembang.

Mekanisme sensor OTT terus menghadapi beragam tantangan, mulai dari klasifikasi konten yang kompleks hingga upaya penghindaran sensor. Volume konten harian yang besar, variasi budaya, dan perkembangan teknologi memperumit implementasi sensor yang efektif.

Meskipun sensor adalah alat penting untuk melindungi pengguna (masyarakat) dari konten yang melanggar dan merugikan, pendekatan yang matang dan seimbang sangatlah penting. Pendekatan seimbang itu menyangkut: pentingnya kebebasan berekspresi dan perlindungan privasi. Dua hal ini adalah kunci yang harus kita  jaga bersama.

Regulasi yang berlebihan dapat menghambat inovasi dan kebebasan berbicara. Sementara regulasi yang terlalu longgar dapat mengancam privasi pengguna dan keamanan online. Perlindungan privasi pengguna harus diutamakan, sambil juga mempertimbangkan kebebasan berbicara dan hak-hak individu. Nah, begitulah kura kura rumitnya! 

SELESAI * penulis adalah praktisi televisi dan sarjana ilmu Komunikasi Fisipol UGM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun