Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Basic Instinct dan Rumitnya Sensor Konten OTT di Era Digital

21 Agustus 2023   12:43 Diperbarui: 21 Agustus 2023   17:31 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi "Basic instinct dan rumitnya sensor konten OTT..."(sumber image: freepik.com) 

Namun Akhirnya, dengan susah payah (karena saya pejuang tangguh), memakai peralatan canggih di ruang QC, saya berhasil "membersihkan" satu satu semua adegan tak senonoh di film itu. Sedikitnya 40% bagian film itu harus saya babat habis, sesuai aturan teknis BSF dan LSF, sehingga akhirnya saya stempel QC "Passed", not "Rejected".

Tentu saja, saya sadar bahwa alur cerita film itu menjadi aneh, sebab saya buang semua adegan ini itu, dan kata kata kotor, sampai bersih sih, resik sik. Dan proses itu, memakan waktu lama tiga hari.

Ilustrasi tentang sensor film Basic Instinct ini, mau menggambarkan sesuai judul artikel ini, bahwa betapa rumit dan mahalnya ongkos suatu proses sensor di dunia pertelevisian analog di kala itu.

Pertanyaannya: bagaimana jika proses sensor itu dilakukan di era digital sekarang? Program siaran tidak lagi tayang di format analog siaran TV tradisional, malainkan melalui format layanan OTT berbasis internet. Bisakah pembaca Kompasiana yang Budiman-Budiwati membayangkan bagaimana kompleksitas dan rumitnya proses sensor ini?

Ulasan pendek ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Marilah kita melihat persoalan ini lebih dekat lagi, setahap demi setahap.

Apa itu OTT

OTT singkatan dari "Over-The-Top," yakni istilah layanan konten media hiburan dan informasi tertentu yang disalurkan langsung ke penonton melalui internet, tanpa perlu melibatkan penyedia layanan tradisional seperti televisi kabel atau penyiaran satelit.

Contoh layanan OTT antara lain: platform streaming video seperti Netflix, Hulu, Disney+, Amazon Prime Video, dan YouTube. Layanan OTT ini memungkinkan kita untuk menonton konten seperti film, acara TV, video pendek, dan konten lainnya secara langsung melalui perangkat yang terhubung ke internet, seperti komputer, smartphone, tablet, dan smart TV.

Karakteristik utama dari layanan OTT, adalah sifatnya yang fleksibel. Konten bisa dipilih sendiri sesuai selera, ditonton kapan saja, dan bisa di mana saja, berdasarkan preferensi individu, tanpa perlu mengikuti jadwal siaran yang ditentukan oleh penyedia layanan tradisional seperti TV siaran.

Nah, seiring pertumbuhan teknologi internet dan perangkat pintar, layanan OTT telah menjadi sangat populer hingga era sekarang ini. Selera penonton pun telah cenderung berubah arah ke OTT tinimbang ke televisi siaran tradisional. Contohnya, kita mungkin lebih suka menonton film konten Drakor, film laga dan mafia Colombia di Netflix, dibanding nonton sinetron di TV lokal. Iya gak sih?

Pentingnya sensor OTT

Menurut pendapat penulis, sama halnya program siaran TV tradisional harus melalui proses internal QC, sepatutnya konten dalam layanan OTT diperlakukan proses QC yang sama.

Artinya, proses mekanisme sensor OTT (Over-The-Top) penting dilakukan untuk menegakkan aturan regulasi dan pengawasan pemerintah untuk melindungi masyarakat, dari segala terpaan konten merugikan, termasuk video, audio dan teks melalui internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun