Sebenarnya tanpa Asikh. Bang Janu bukanlah apa-apa, karena yang tahu seluk-beluk, hal ikhwal tentang sembako, mulai dari kulakan, mulai dari distribusi, terus kepada siapa dijual, diantarkan kepada langganan. Itu semua kerja keras dari Asikh. Namun Kang Janu yakin, sangat yakin, haqul yakin, tanpa dirinya, Asikh juga bukan apa-apa. Tanpa kepala bagaimana mungkin, tangan dan kaki bisa jalan, pikirnya.
Waktu berjalan cukup lama. Asikh hidup dengan caranya sendiri. Ke sana kemari, mencari relasi. Kadang nongkrong, ngopi dan juga kumpul-kumpul bersama temannya. Dia benar-benar menemukan kebebasan. Sebulan dua bulan berjalan. Uang mulai seret, pikiran kalut. Bosan dengan senang-senang. Apalagi pergi cari pekerjaaan tidak pernah dapat. Mau buka usaha tidak punya modal. Tiba-tiba ada setan yang membisikinya.
"Hidup tak jelas, tak punya arah. Uang seret. Banyak hutang. Benar-benar seperti gembel. Luntang-luntung. Ramalan dan prediksi Kobo tak terbukti. Memangnya kamu pikir hidup di luar itu gampang? Rasakan sendiri! akibatnya. Makanya kalau mikir itu yang bener, pakai otak jangan pakai dengkul. Hidup itu bukan untuk menambah hutang! Goblok."Â
Asikh tersentak kaget.
Esoknya, sambil menangis dan ia pergi meminta ma'af kepada Kang Janu. "Kang saya mau balik lagi. Ma'afkan saya". Kang Janu terkekeh.