Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali Lagi

22 Mei 2018   06:03 Diperbarui: 22 Mei 2018   07:24 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sampai kapan ente akan begini terus? Manusia itu hidup. Mandiri. Bukan  mengekor. Kalau mengekor, itu bebek namanya. Buka mata, buka pikiran. Hilangkan segala keraguan. Apapun yang terjadi percayalah kamu bisa mandiri. Minimal seperti dirimu sendiri. Bukan seperti orang lain. Sampai kiamat pun. Hidup ente tidak akan berubah. Aku yakin. Sumpah samber bledek. Kamu dilahirkan bukan untuk buntut," pesan Kobo kepada temannya, Asikh.

"Lihatlah contoh-contoh yang sudah dijalani oleh tetangga ente. Banyak yang sukses. Makmur. Duit cukup. Anak dan bini jadi seneng. Kalau laki-nya sukses. Hidup akan bahagia. Bini akan makin cinta. Ini haq, realita, bro. Dimana laki punya uang, perempuan akan sayang. Meksi diantara contoh yang saya sebutkan itu masih ada juga yang gagal, tapi ente jangan lihat yang gagal. Lihatlah dengan kacamata makro, lurus lebar ke depan. Jangan berpikiran yang sempit apalagi cupret."

Kobo dari tadi nerocos terus. Gorengan sepiring di depannya sampai ludes. Dia tetap belum berhenti. "Tambah gorengan lagi mak!" kata Asikh kepada penjaga warung. Dia ingin mendengarkan terus apa yang disampaikan oleh Kobo. Asikh mencoba untuk mengurai pesan-pesan kobo, kemudian membandingkan dengan nasib hidupnya yang  sekarang ini.

"Saya tidak bermaksud menggurui, atau sombong, bro. Meski tak lulus bangku sekolah. Saya punya jalan sendiri. Buka warung. Punya penghasilan, dan yang terpenting adalah punya kebebasan. Bebas untuk memilih iya dan tidak, dan bebas untuk tidak memilih. Hanya orang yang bebaslah yang punya rasa kemanusiaan seutuhnya. Lah, kamu kapan? Istri belum, usaha belum, masih saja mengekor, tidak punya keputusan, tidak bisa berani "tidak". Apa-apa 'ya'. Itu namanya 'yES Man'. Serba 'ya'. Persis robot.! " Kobo lalu tertawa.

"Tenang-tenang, saya di sini bukan bermaksud mengolok. Tapi aku ini, adalah Kobo. Teman kecilmu. Kamu saya anggap sebagai saudara sendiri. Kalau bukan karena sayang dan prihatin, aku tidak akan panjang lebar menasihatimu. Ini untuk kebaikanmu sendiri, bro. Semua keputusan ada ditanganmu." Kobo menepuk nepuk telapak tangan Asikh.

Asikh manggut-manggut. Ia nampak serius. Rupanya ia mengikuti jalan pikiran kobo. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bepikir. Hal semacam ini, tidak pernah ada di benaknya. Seperti barang asing, harus benar-benar disaring dulu, sebelum dicerna otak. Ia mulai merenung.

Perjalanan hidupnya memang tak semulus teman-temannya. Ia adalah anak yang sejak kecil dirawat dan diasuh oleh Kang Janu. Entah anak siapa, Kang Janu menemukan di pinggir jalan. Karena tidak ditemukan siapa yang membuang anak itu. Akhirnya Kang Janu memutuskan merawat dan memberikan pendidikan kepadanya. Bukan anak ,bukan pula sanak. 

Akhirnya ia menjadi pekerja toko sembako. Membantu usaha Kang Janu. Sampai Kang Janu sukses. Dan Asikh tetap menjadi pekerjanya. "Sebagai bentuk balas budi, maka kamu tidak saya gaji." kata Kang Janu. "Makanmu ikut saya, annggap saja ini rumah sendiri." Asikh merasa senang, menjabat tangan dan mengucapkan terima kasih.

Sudah sepuluh tahun berjalan. Sampai besar Asikh tetap sendiri. Tetap menjadi pekerja. Tetap ikut di rumah Kang Janu. Tapi kali ini, pikirannya mulai kacau.  Pengaruh kata-kata Kobo, benar-benar menancap dalam hatinya. Sampai tengah malam dia tidak bisa tidur.

Entah dapat kekuatan dari mana. Ia memberanikan diri bertemu Kang Janu. "Kang, saya mau keluar, saya mau mandiri. Saya ingin hidup seperti yang lainnya. Mencari bahagia. Apapun yang saya kerjakan, saya anggap cukup untuk membalas akang. Kalau saya sudah sukses, akan saya kembalikan biaya hidup dan pendidikan yang sudah akang berikan kepada saya." Asikh tidak bisa meneruskan kata-kata. Dia melanjutkan dengan tangis dan memeluk Kang Janu. Dia pamitan keluar.

Seakan tak percaya. Kang Janu, hanya bisa melongo. Melihat anak buahnya, berubah pikiran seratus delapan puluh derajat. "Hidup di luar tidaklah mudah, Asikh.  Dan jika kau merasa kesulitan, tak apa kembali lagi. Saya masih bisa menerima. Semoga sukses.!" pesan Kang Janu, nyengir.

Sebenarnya tanpa Asikh. Bang Janu bukanlah apa-apa, karena yang tahu seluk-beluk, hal ikhwal tentang sembako, mulai dari kulakan, mulai dari distribusi, terus kepada siapa dijual, diantarkan kepada langganan. Itu semua kerja keras dari Asikh. Namun Kang Janu yakin, sangat yakin, haqul yakin, tanpa dirinya, Asikh juga bukan apa-apa. Tanpa kepala bagaimana mungkin, tangan dan kaki bisa jalan, pikirnya.

Waktu berjalan cukup lama. Asikh hidup dengan caranya sendiri. Ke sana kemari, mencari relasi. Kadang nongkrong, ngopi dan juga kumpul-kumpul bersama temannya. Dia benar-benar menemukan kebebasan. Sebulan dua bulan berjalan. Uang mulai seret, pikiran kalut. Bosan dengan senang-senang. Apalagi pergi cari pekerjaaan tidak pernah dapat. Mau buka usaha tidak punya modal. Tiba-tiba ada setan yang membisikinya.

"Hidup tak jelas, tak punya arah. Uang seret. Banyak hutang. Benar-benar seperti gembel. Luntang-luntung. Ramalan dan prediksi Kobo tak terbukti. Memangnya kamu pikir hidup di luar itu gampang? Rasakan sendiri! akibatnya. Makanya kalau mikir itu yang bener, pakai otak jangan pakai dengkul. Hidup itu bukan untuk menambah hutang! Goblok." 

Asikh tersentak kaget.

Esoknya, sambil menangis dan ia pergi meminta ma'af kepada Kang Janu. "Kang saya mau balik lagi. Ma'afkan saya". Kang Janu terkekeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun